Harapan Baru Penderita Parkinson

Alumnus FK Unair itu mengungkapkan, sebelum tindakan, pasien diperiksa dengan menggunakan magnetic resonance imaging (MRI) dan CT scan. Dokter menentukan koordinat otak x, y, dan z. Rambut pasien dicukur sedikit. Operasi berlangsung satu jam. Tujuan utamanya adalah mengurangi aktivitas struktur otak hiperaktif yang mengakibatkan gangguan gerakan. ’’Pada waktu lesioning menggunakan alat radio frekuensi. Bahasa awam kepalanya disoder,’’ ujar dokter yang mendapat fellowship di Tokyo Women’s Medical University itu.

Masa pulih pascaoperasi juga cepat. Pasien bisa keluar dari rumah sakit pada hari keempat atau kelima. Dokter yang bergabung dalam Surabaya Neuroscience Institute (SNeI) itu menambahkan, bukan hanya buat parkinson, teknik tersebut juga bisa digunakan untuk tremor, epilepsi, spastisitas, tumor otak, stroke, dan distonia.

Meski begitu, dokter berusia 34 tahun itu menyebut stereotactic hanya bisa dilakukan per bagian tubuh dengan kurun waktu sekitar setahun. Misalnya, mengatasi gangguan gerak tangan. Yang bisa dilakukan adalah tindakan satu tangan dulu. Tangan satunya menunggu setahun lagi. Hingga kini ada sekitar 100 pasien yang dioperasi dengan menggunakan teknik stereotactic.

Fahmi menyatakan, tingkat keberhasilan stereotactic cukup tinggi. Untuk pasien tremor, probabilitas kesembuhan mencapai 80-90 persen. Kemudian, bagi penderita parkinson, keberhasilannya 70-80 persen. ’’Pasien bisa bebas obat. Sekali bikin lesi hasilnya seumur hidup. Ini adalah new hope. Dari Surabaya untuk Indonesia,’’ tegas Fahmi.

Selain stereotactic brain lesion, National Hospital memberikan alternatif mengatasi gangguan gerak dengan melakukan deep brain stimulation (DBS). Yakni, pemasangan alat ke dalam otak untuk mengurangi gejala penyakit gerak. Teknisnya, menanam semacam baterai di dada dan dihubungkan dengan kabel tertentu menuju otak.’’Baterai diganti setiap empat tahun. Tanpa perlu operasi kepala lagi. Cukup di baterainya,’’’ kata Fahmi.

Jika dibandingkan dengan dua teknik itu, Fahmi menyebut stereotactic lebih efisien karena tindakan hanya dilakukan sekali seumur hidup. Biaya operasi itu memang tidak murah. Namun, Fahmi berharap satu saat nanti bisa ter-cover BPJS Kesehatan sehingga pasien tidak perlu mengeluarkan banyak biaya. (nir/c19/ayi/rie)

Tinggalkan Balasan