Wujudkan Perdamaian Melalui Dialog Lintas Agama

BANDUNG– Kerja sama antar negara harus terus terjalin dengan baik menuju perdamaian dunia. Salah satunya dengan cara meningkatkan dan membangun hubungan baik jangka panjang antar agama dan kebudayaan.

Ini untuk menekan persepsi negatif antar identitas yang berbeda, dan mengatasi radikalisme. Hal tersebut diungkapkan Direktur Jenderal Informasi dan Diplomasi Publik Kementerian Luar Negeri, Cecep Herawan dalam acara Dialog Lintas Agama pertama antara para pemuka Indonesia dan Australia bertempat di De Paviljoen Hotel di Jalan RE Martadinata Nomor 68 Bandung, baru-baru ini.

Sementara itu Gary Quinlan, Duta Besar Australia untuk Indonesia menyatakan, momen saling berkunjung antar pemimpin kedua negara pada tahun 2018, tepatnya pada 31 Agustus 2018 menjadi momentum untuk memperkuat kedua negara.

“Australia dan Indonesia memahami bahwa demokrasi yang maju dan kuat yang saat ini dinikmati oleh kedua negara adalah berkat kemajemukan masyarakatnya. Saling menghargai dalam setiap perbedaan,” katanya.

Kesamaan dalam hal keberagaman, khususnya dari segi etnik, bahasa dan agama, merupakan hal lain yang menjadikan Dialog Lintas Agama diantara kedua negara penting. Kedua negara dapat saling belajar dari pengalaman dan praktik-praktik terbaik yang telah dilaksanakan dalam menjaga keharmonisan dalam keberagaman di masing-masing negara. Sebagai negara berpengaruh di kawasan, Indonesia dan Australia juga berkepentingan untuk menjaga keharmonisan di Asia Pasifik.

“Masyarakat Australia menjunjung tinggi nilai persatuan dalam kemajemukan dan menyadari bahwa pengakuan dan penghargaan terhadap keyakinan dan budaya yang berbeda-beda justru memperkuat masyarakat, bukan memperlemah,” kata Gary.

“Australia dan Indonesia memahami bahwa demokrasi yang maju dan kuat yang saat ini dinikmati oleh kedua negara adalah berkat kemajemukan masyarakatnya,” lanjutnya.

Dialog lintas agama merupakan wadah dalam meningkatkan hubungan baik antar umat beragama melalui dialog dan kolaborasi, serta menjadi instrumen pemajuan demokrasi, pelindungan hak asasi manusia dan kebebasan fundamental, termasuk kebebasan untuk berpendapat, memeluk agama serta berekspresi.

Kegiatan tersebut diikuti sekitar 80 peserta dari kedua negara. Mereka ini terdiri dari pejabat pemerintahan, tokoh dan intelektual lintas agama, praktisi media, perwakilan kelompok pemuda, dan para tokoh berbagai agama di Bandung. (mg2)

Tinggalkan Balasan