Waspadai Konflik Pasca Pemilu

JAKARTA – Jelang pemungutan suara pada 17 April 2019 mendatang, salah satu hal yang perlu diwaspadai adalah munculnya konflik elektoral.

Konflik elektoral adalah pertentangan atau sengketa yang terjadi antara penyelenggara pemilu, peserta pemilu, masyarakat dan pihak-pihak lainnya dalam suatu perebutan kekuasaan melalui proses pemilihan atau penyelenggaraan pemilu.

Hal tersebut dipaparkan Abdul Ghofur, Direktur Rumah Bebas Konflik Pemilu (RUBIK) dalam diskusi Proyeksi Potensi Konflik Elektoral Pasca Pemungutan Suara Pilpres 2019 di Media Center Bawaslu, Kamis (11/4). Konflik elektoral pasca pemungutan suara itu mencakup, sengketa hasil pemilihan seperti adanya dugaan kecurangan di TPS, pelanggaran prosedur pungut hitung sampai intimidasi.

Kekerasan dan anakhisme massa pendukung paslon seperti pengrusakan kantor penyelenggara dan fasilitas umum dan penganiayaan terhadap petugas penyelenggara juga perlu diantisipasi dan terakhir adalah bentrok fisik antar massa pendukung seperti kerusuhan dan perkelahian akibat saling ejek, euforia dan kekecewaan yang berlebihan, paparnya.

Berdasarkan konfigurasi data perolehan suara partai pileg 2014 yang disandingkan dengan data perolehan survei terkini, tingkat elektoral masing-masing calon sangat ketat, dengan rasio suara masing-masing paslon dikisaran 40-60 persen. Dengan kata lain, jika jika Jokowi-Amin mendapat suara 50 persen dari suara sah, maka Prabowo-Sandi akan mendapat 50 persen suara sah.

Tentu saja ini adalah bentuk paling ekstrim dari ketatnya kompetisi elektoral dalam pemilihan presiden, kecuali terjadi ticket-splitting, yakni pemilih memilih partai dan paslon yang berbeda sehingga terjadi perubahan konfigurasi jelas Abdul Ghofur yang juga Dosen Ilmu Politik FISIP UPN Veteran Jakarta.

Ia menambahkan, potensi sengketa, kekerasan dan anarkhisme dan bentrok fisik pasca pemungutan suara semakin menguat ketika informasi sebagai calon pemenang dan yang kalah itu tidak jelas. Secara psikologis, kedua belah pihak sama-sama over confident untuk menang sehingga jika pada akhirnya mereka yang kalah maka mereka akan menganggap hasilnya curang.

Over confident yang termanifestasi dalam bentuk narasi-narasi yang mendelegitimasi hasil pemilu, dan dalam hal faktor sosial politik, sejarah mobilisasi massa (massa pendukung) disuatu daerah juga menjadi faktor dominan.

Pada situasi ini, DKI Jakarta selain Jawa Tengah, Jawa Timur, Jawa Barat, Bali dan Sumatera Utara adalah daerah yang harus diwaspadai menjadi tempat munculnya konflik elektoral yang dominan dari daerah lain, tetapi DKI Jakarta harus menjadi prioritas.

Berita Terkait

Tinggalkan Balasan