Selamatkan Bisnis, Smartfren Siap Merger

JAKARTA – Seiring perkembangan teknologi yang tumbuh kian pesat namun jika tidak dibarengi kemajuan industri Telco, akan ditinggalkan. Ini yang dirasakan oleh operator Smartfren.

Operator telekounikasi berwarna merah itu kalah bersaing dengan masuknya jaringan 4G di Indonesia.

“Sejak awal pemerintahan Jokowi rasanya industri Telco diidentifikasi banyak terjadi tekanan,” kata Presiden Direktur PT Smartfren Telecom Tbk (FREN), Merza Fachys di Jakarta, Rabu (20/2).

Alhasil, kata Merza, agar bisnis Smartfren tetap bertahan, maka harus menyiapkan anggaran belanja modal (capital expenditure/capex) sebesar 200 juta dolar AS atau sekitar Rp2,8 triliun.

“Capex ini untuk pengembangan jaringan perusahaan di tahun 2019. Sekarang kita punya hampir 17 ribu Base Transceiver Station (BTS). Target kita tahun ini tambah jadi 20 ribu BTS,” ujar Merza.

Soal dana capex, Merza mengungkapkan diperoleh dari tiga aksi korporasi yang telah disetujui pada RUPSLB 25 September 2018 lalu.

Pertama, melakukan right issue sebesar Rp6,7 triliun. Telah dilaksanakan pada 16-30 November 2018
Kedua, akan menerbitkan waran seri II sebesar Rp3,6 triliun pada 16 Mei 2019 hingga 22 November 2021.

“Terakhir, Smartfren akan melakukan Penambahan Modal Tanpa Hak Memesan Efek Terlebih Dahulu (PMTHMETD) lewat perbuatan obligasi wajib konversi senilai Rp1,2 triliun yang pelaksanaannya 25 September 2018 hingga 25 September 2020,” papar Merza.

Selain itu, lanjut Merza, Smartfren juga membuka opsi merger dengan PT XL Axiat Tbk (EXCL) dan PT Indosat Tbk (ISAT).

Saat ini, kata Mirza pihaknya masih menunggu keputusan terkait rencana merger ini. Pemerintah memang menyatakan bahwa hanya tiga telekomunikasi di Indonesia.

“Pemerintah berulang kali mengatakan kalau industri telekomunikasi akan lebih sehat kalau hanya ada tiga perusahaan saja. Kita masih menunggu keputusannya seperti apa” papar Merza.

Terpisah, peneliti ekonomi dari Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Ucok menilai persoalan tekanan yang dihadapi perusahaan telekomunikasi karena masih tingginya kandungan impor.

“Kandungan impornya tinggi, sehingga rentan terhadap nilai tukar,” ujar Ucok kepada Fajar Indonesia Network (FIN) Grup Jabar Ekspres, Rabu (20/2).

Menurut Ucok, perkembangan jaringan dari 3G ke 4G memang tidak bisa dibendung, dan sudah kebutuhan pengguna ponsel di Indonesia

Berita Terkait

Tinggalkan Balasan