Quick Count Bukan Harga Mati

JAKARTA – Sejak pukul 15.00 WIB, sejumlah lembaga survei yang terdaftar secara resmi di KPU mulai merilis hasil quick count (Hitung Cepat) Pilpres 2019.

Direktur Indonesian Public Institute (IPI), Karyono Wibowo meminta kedua kandidat menahan diri untuk tidak mengklaim kemenangan sebelum pengumuman resmi KPU.

”Semua pihak harus menunggu penghitungan KPU bahwa ada quick count nanti, ini bukan hasil resmi, ini hanya memberikan informasi kepada masyarakat dengan metodelogi yang bisa dipertanggungjawabkan. Siapapun pemenangnya itu kehendak rakyat, kan demokrasi sebagai sarana pewujudan keadulatan rakyat dalam menentukan pilihan menentukan pemimpin,” katanya saat berbincang dengan Fajar Indonesia Network (FIN) di Jakarta, Rabu (17/4).

Meski demikian, Karyono mengakui hasil quick count yang dilakukan oleh berbagai lembaga survei memiliki ting­kat presisi sangat tinggi. Ba­hkan, faktanya selisih pero­lehan suara quik count dengan rekapitulasi KPU selisih 0 persen. Tapi quik count bukan hasil resmi.

Karyono mencium feno­mena hitung cepat seperti Pilpres 2014 terulang kem­bali tahun ini. Berbagai survei mengklaim saling memenang­kan kedua kandirdat.

” Ini bisa berujung pada hasil quick count hari ini, menurut saya ini harus dihin­dari, masyarakat harus dibe­rikan pendidikan yang baik, lembaga lembaga survei yang tidak jelas harus ditindak te­gas,” kata dia.

”Ini kelihatannya akan muncul, terkait dengan dualisme lembaga survei yang mengumumkan hasil surveinya seperti Pilpres 2014 lalu. Ada empat lembaga survei yang memenangkan capres Prabowo-Hatta pada saat itu, ada enam lembaga survei memang kan Jokowi, hasil faktanya jokowi yang memang,” ungkapnya.

Di sisi lain, calon presiden Prabowo Subianto optimi­sitis akan memenangi Pil­pres 2019 dari hasil real count yang dilakukan tim BPN dengan perolehan 62 persen. Bahkan klaim ke­menangannya itu diumum­kan di depan para pendu­kungnya di Jalan Kertane­gara, Jakarta Selatan.

Prabowo mengatakan, se­lama masa kampanye ma­syarakat kerap mendapatkan perlakuan tidak adil. Ada kepala desa dipenjara ka­rena mendukung paslon nomor 02, sementara pulu­han kepala daerah yang se­cara terbuka mendukung paslon 01 dibiarkan begitu saja.

Berita Terkait

Tinggalkan Balasan