Pilkada 2020 Jangan Hanya Satu Calon

JAKARTA – Komisi Pemilihan Umum (KPU) tengah mencari cara mengatisipasi munculnya calon tunggal di Pilkada 2020. Alasannya, calon tunggal dalam proses demokrasi dinilai tidak sehat. Masyarakat tidak diberikan pilihan untuk mempertimbangkan visi dan misi calon. Karena hanya disuguhi satu pilihan.

Komisioner KPU Wahyu Setiawan mengatakan, segala opsi akan dipertimbangkan lembaga penyelenggara pemilu untuk memunculkan persaingan di pilkada. “Dalam peraturan KPU (PKPU) mendatang itu mendorong di daerah agar tidak muncul calon tunggal,” kata Wahyu di Jakarta, Rabu (7/8).

Lembaga penyelenggara pemilu ini juga berencana membatasi persentase maksimal koalisi partai politik mengusung pasangan calon kepala daerah. Pembatasan ini untuk memastikan tak ada calon yang didukung oleh semua parpol. “Misalnya persyaratan mengajukan calon 20 persen. Maksimal kita bisa atur gabungan partai politik itu paling banyak 70 atau 80 persen. Berarti ada 20 persen partai politik atau gabungan partai politik yang tidak menyatu. Sehingga secara teoritik bisa mengusung calon lain,” papar Wahyu.

Namun, Wahyu menilai kemungkinan adanya calon tunggal tetap terbuka dengan aturan tersebut. Partai politik bisa bersikap tidak mencalonkan siapapun atau abstain. KPU pun akan menyiapkan regulasi calon tunggal untuk mengantisipasi terjadi di beberapa daerah. “Kita menyiapkan skenario akhir jika regulasi untuk mendorong tidak ada calon tunggal itu ternyata tetap saja ada,” terangnya.

Menanggapi hal itupengamat politik Ujang Komarudin menjelaskan, munculnya fenomena satu pasangan calon dalam pemilu biasanya karena petahana memborong seluruh partai untuk berkoalisi. Hal ini dinilai lebih murah biaya politiknya, ketimbang head to head melawan calon lain. “Jika hanya ada satu calon, masyarakat tidak diberikan hak berdemokrasi. Karena pada dasarnya, pemilu adalah persaingan kandidat terbaik yang diusung partai politik. Kenapa bisa lebih murah? Karena tidak perlu repot-repot kampanye. Atau yang sudah menjadi rahasia umum adalah money politic yang kerap digunakan dalam pemilu,” ujar Ujang kepada Fajar Indonesia Network (FIN) di Jakarta, Rabu (7/8).

Akademisi Universitas Islam Al Azhar Indonesia ini melanjutkan, bersatunya partai dalam mengusung calon juga membuat kurang kontrolnya legislatif terhadap pemerintahan. Jika semua parpol sudah berkoalisi, pengawasan terhadap kinerja pemerintah dipastikan akan berkurang.

Berita Terkait

Tinggalkan Balasan