Pelajaran dari Palembang untuk Operasikan LRT

LRT di Palembang sebenarnya memangkas drastis waktu dan biaya perjalanan. Tapi, masih banyak keluhan: mulai jarak keberangkatan sampai penggunaan uang elektronik.

FERLYNDA PUTRI, Palembang

SUDAH beberapa kali anak-anaknya mengajak Sri Susanti menjajal light rail transit alias lintas rel terpadu (LRT). Namun, warga Bukit Duri, Palembang, itu sejauh ini belum tertarik.

“Kita mau naik LRT ini mau ke mana? Belum sempat juga,” ucapnya kepada Jawa Pos di Palembang, Sumatera Selatan, Kamis (28/2).

LRT Palembang sebenarnya resmi beroperasi sejak September tahun lalu. Moda transportasi yang memakai jalur rel layang (di atas tanah) itu merupakan yang pertama di Indonesia.

Tapi, dalam dua hari penelusuran, Rabu (27/2) dan Kamis (28/2) pekan lalu, Jawa Pos menemukan tidak hanya satu atau dua warga Palembang yang seperti Sri. Masih awam dengan LRT, baik rute, model pembayaran, maupun kendaraan umum penyokong. Masih belum menganggapnya sebagai transportasi yang murah dan cepat.

“Tidak leluasa kalau mau ke tempat lain. Harus naik kendaraan lain,” tutur Sarwanto, warga Palembang lain.

Karena itukah LRT Palembang yang dibangun dengan biaya Rp 10,9 triliun tersebut sepi peminat seperti banyak jadi sorotan belakangan? Jumlah penumpang di sepanjang Januari lalu, misalnya, turun banyak bila dibandingkan dengan sebulan sebelumnya.

Padahal, pemerintah pusat mendorong kota-kota lain di tanah air untuk mengembangkan transportasi serupa. Jakarta, misalnya, berencana di akhir bulan ini mulai mengoperasikan LRT. Bandung, Batam, dan Makassar juga dikabarkan sudah berancang-ancang untuk membangun moda transportasi serupa.

Bandara Internasional Sultan Mahmud Badaruddin II merupakan titik awal keberangkatan LRT Palembang.

Relnya mengular sejauh 23,4 km menuju Stasiun DJKA di Jalan Gubernur H.A. Bastari, Banyu Asin. Total ada 13 sta­siun. Semuanya masih dalam batas Kota Palembang.

Sepanjang Rabu dan Kamis pekan lalu itu, setidaknya lima kali Jawa Pos naik turun LRT Palembang di berbagai stasiun. Ini kali kedua Jawa Pos men­jajal kereta ringan tersebut. Yang pertama saat uji coba sebelum pengoperasian tahun lalu.

Di titik awal keberangkatan di bandara, papan petunjuk sudah terpampang di pintu kedatangan. Untuk naik LRT, penumpang harus menyiap­kan uang elektronik. Jika tidak punya, mereka bisa membe­linya di loket stasiun. Namun, jika memilih DAMRI atau Trans Musi, dua opsi moda trans­portasi umum lainnya di ban­dara, pembayaran tiket harus dengan uang tunai.

Tinggalkan Balasan