Pajak Rajapaksa

Begitu mendarat di Sri Lanka saya ingat Buddha. Saya pernah dua kali dianggap Buddha dan Buddhis.

Buddha telah membuat saya lancar masuk ke Sri Lanka. Antrian visa on arrival Jumat lalu itu panjang. Di belakang petugas ada tulisan USD 40. Untuk sekali masuk negara itu.

Saya pun tahu cara untuk lancar. Saya sudah siapkan jawaban untuk pertanyaan ‘tujuan ke Sri Lanka’.

“Ke kuil Buddha,” jawab saya.

“Anda Buddhis?”

Yang bertanya menghadap komputer. Saya diam saja. Diam itu rupanya disamakan dengan ‘ya’.

Saya pun diantar ke loket imigrasi. Kasihan yang antre di belakang saya –ditinggal begitu saja.

Di imigrasi saya langsung diserahterimakan ke petugas paspor. Tanpa harus antre. Tidak ada pertanyaan lagi. Paspor pun langsung distempel.

Uang USD 40 dolar yang sudah saya pegang masuk ke saku lagi.

Toh di Colombo, ibu kota Sri Lanka, saya harus ke kuil terbesar di situ. Seperti kalau ke Eropa harus ke gereja legendaris.

Dan lagi saya toh sangat familiar dengan kuil Buddha. Begitu banyak kuil Buddha yang mengundang saya –di Medan yang luasnya 30 hektare itu, di Jakarta yang dekat Ancol itu, di Gorontalo yang dekat teluk itu. Tak terhitung.

Buddha Empat Wajah di Kenjeran Surabaya saya juga yang diminta meresmikan. Demikian juga kuil yang di Samarinda –sampai teman saya yang Islam harus salat asar di dalam kuil itu– seijin Biksu di situ.

Saya juga pernah diminta mewakili umat Buddha –untuk memberi sambutan di depan Bapak Presiden SBY di Borobudur.

Kini saya datang ke negara Buddha. Lebih 65 persen penduduk Sri Lanka adalah Buddha.

Ups, saya juga ingat saat di Kamboja awal tahun ini. Di Kamboja-lah saya mengurus visa ke India.

Saya pun ke perusahaan pengurusan visa. Tinggal serahkan copy paspor dan bayar di situ. Semua formulir ia yang mengisi.

Setelah semua berkas selesai barulah saya ke kedutaan besar India di Phnom Phen.

Dalam perjalanan itu saya baca-baca isi dokumen. Saya pun tersenyum: di situ ditulis agama saya Buddha.

Berita Terkait

Tinggalkan Balasan