Minta Uang Pangkal Diturunkan

BANDUNG – Ratusan Mahasiswa Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) gelar demo menuntut tiga aspirasi yang dinilai membebani mahasiswa segera dibenahi. Ketiga aspirasi tersebut terkait Uang Kuliah Tunggal (UKT), uang pangkal seleksi mandiri, dan aksesibilitas dan pemerataan fasilitas.

Dalam aksi yang dilakukan di depan Kampus UPI, Jalan Setiabudi, Bandung pada Senin (19/08) tersebut, Presiden Republik Mahasiswa Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM), Rexsi Adi Prabowo mengatakan, permasalahan UKT muncul karena tidak terbukanya realisasi pengelolaan UKT dan implementasi peraturan yang tidak utuh.

”Kondisi UPI hari ini, mahasiswa hanya langsung tahu tentang besaran tanpa tahu asal-usul hitungan besaran UKT yang diterima. Padahal UKT ditentukan berdasarkan Biaya Kuliah Tunggal (BKT) dan Bantuan Operasional Perguruan Tinggi Negeri (BOPTN),” ungkap Rexsi, disela-sela aksi.

Dia menjelaskan, BKT merupakan keseluruhan biaya operasional mahasiswa selama satu semester yang ditentukan berdasarakan capaian standar nasional pendidikan tinggi, jenis program studi, dan indeks kemahalan wilayah. Sementara BOPTN merupakan alokasi pemerintah untuk perguruan tinggi negeri dari APBN. Hal tersebut tidak terbuka sebagai informasi publik yang menjadi landasan penentuan besaran UKT.

”Selain tidak transparansi, UKT juga diklasifikasikan jadi delapan golongan dengan nilai Rp 500.000 sebagai nominal terkecil hingga Rp 7.800.000 sebagai nominal terbesar, dan belum berlakunya sistem verifikasi/ peninjauan ulang UKT sebagaimana tercantum Permenristekdikti no. 39 2017 pasal 5,” jelasnya.

Selain masalah UKT, lanjutnya, terdapat juga masalah Uang pangkal Seleksi Mandiri (SM). Dimana ada besaran berbeda setiap jurusan.

”Nominal terkecil yaitu Teknik Elektro (D3) dan Teknik Mesin (D3) Rp 17.300.000 dan nominal terbesar IPSE (S1) Rp 38.700.000 untuk registrasi,” ucapnya.

Sementara, data yang didapat dari mahasiswa baru 2019, mahasiswa yang masuk melalui jalur seleksi mandiri sebanyak 27,1 persen merasa keberatan. Tidak hanya itu, aksesibilitas fasilitas dan pemerataaan fasilitas di kampus daerah juga menjadi salah satu yang dipermasalahkan.

”Tuntutan prestasi dari kampus berbanding terbalik dengan dukungan yang diberikan. Kondisi fasilitas yang ada, saya rasa masih kurang layak untuk mendukung kegiatan kemahasiswaan,” bebernya.

Selain itu, poin yang dianggap memberatkan lainnya adalah adanya biaya tertentu dengan berbagai tarif seperti Tarif penggunaan ruangan kelas Rp 50.000 –Rp 350.000, tarif penggunaan ruangan audit Rp 450.000 – Rp 3.500.000, tarif penggunaan UPT Rp 5.000 per orang (Gelanggang renang) – Rp.15.000.000 per hari (Stadion/ Tenis Indoor untuk kegiatan internasional) tarif penyewaan lahan untuk bazaar Rp 50.000 per meter persegi.

Berita Terkait

Tinggalkan Balasan