Menjenguk Bu Ani

Di antara Kunming-Singapura itu saya ingat: saya nanti akan transit beberapa jam di Changi. Saya pun cari nomor WA ajudan Pak SBY. Atasan saya dulu. Yang presiden Indonesia dua pereode itu.

“Bolehkah saya nanti menjenguk Bu Ani Yudhoyono di rumah sakit? tulis saya.

Saya tahu WA itu tidak bisa terkirim. Saya masih di atas pesawat. Tapi saya tidak akan lupa: begitu mendarat nanti WA itu pasti terkirim secara otomatis.

Betul saja, belum lagi saya keluar dari pesawat sudah ada jawaban. “Saya sudah sampaikan ke beliau. Siap diterima jam 16.00,” jawab WA itu.

Maka saya putuskan makan siang dulu. Lalu ke rumah sakit National University Hospital Singapura. Diantar Robert Lai. Lewat gerbang Selatan.

Di dekat loby lantai bawah itu sudah terlihat ajudan beliau. Tidak berpakaian dinas, tapi saya tahu pangkatnya letnan angkatan darat. Ia mengenali kedatangan saya. Diminta duduk sebentar di kursi tunggu loby. Saya lihat di dekat kursi itu banyak tas dan ransel ditumpuk di lantai. Berarti banyak tamu yang meninggalkan ransel di situ.

Seorang wartawati Singapura juga sedang antre. “Sudah dua minggu saya menunggu waktu bertemu,” ujarnya. “Dulu saya sering meliput di Indonesia,” tambahnya. Dia pun menceritakan kesan sangat positif tentang Pak SBY. Dia keturunan India, lahir di Singapura, alumni John Hopkin University, Washington DC.

Lalu datang juga anggota DPR yang cantik itu: Novita. Dokter psikologi. Bersama ibunya. Yang baru check up kanker payudara.

Saya sendiri bersama istri dan anak wedok saya, Isna Iskan. Setelah 10 menit menunggu kami pun diminta ke atas. Ke lantai delapan.

“Di ujung sana itu,” ujar ajudan. Suaranya lirih. Agar tidak berisik di dalam ruang pasien yang memanjang itu.

Saat keluar lift saya memang tampak agak ragu. Lihat sana-sini. Di mana ruangan beliau. Saya pikir dekat lift. Di satu ruang khusus yang istimewa di dekat situ.

Ternyata di ujung koridor sana. Kami harus melewati pasien-pasien lain. Dan meja-meja perawat. Di dekat ujung itu ada satu ruangan yang diubah fungsi. Jadi ruang tamu. Empat kursi dijajar di dekat dinding kanan. Delapan kursi di dekat dinding kiri. Satu kursi lagi di ujung tengah. “Oh di situlah nanti Pak SBY duduk,” kata saya dalam hati.

Berita Terkait

Tinggalkan Balasan