Ketum Golkar Perlu Restu Jokowi

JAKARTA – Perebutan kursi tertinggi partai dengan lambang beringin terus memanas. Selain dua calon ketua umum, Airlangga Hartanto dan Bambang Soesatyo (Bamsoet), mantan Ketua DPP Partai Golkar Indra Bambang Utoyo juga bakal ikut meramaikan. Hanya saja, siapapun yang akan maju, wajib merapat ke pemerintahan dan mendapat restu. Kisruh internal partai Golkar akan rampung jika pemerintah turun tangan. Hal ini berkaca pada pengalaman pemilihan ketua umum Golkar pada 2013 lalu.

Direktur Indonesia Political Review Ujang Komarudin menjabarkan, konflik yang saat ini berkepanjangan dikarenakan kurangnya komunikasi dan demokrasi Airlangga. Sehingga proses demokrasi di Partai Golkar tidak ketemu.

“Dualisme kepemimpinan seperti ini menjadi hantu konflik yang selalu menghantam ketika pemilihan ketua umum. Kurangnya demokratisasi di Golkar membuat konflik terus muncul,” ujar dosen ilmu politik Universitas Islam Al Azhar Indonesia kepada FIN di Jakarta, Selasa (26/11).

Dia mengatakan, siapapun yang mau maju, harus melakukan pendekatan ke pemerintah. Alasannya, Golkar saat ini merupakan partai koalisi yang banyak menduduki posisi penting. Sehingga, merapatnya kandidat ke Jokowi menjadi kunci utama agar terpilih menduduki posisi ketua umum. “Semua kita lihat berhati-hati. Hanya saja, tergantung pemerintah nantinya. Apakah Bamsoet atau Airlangga. Semua tergantung Presiden Jokowi,” imbuhnya.

Sementara itu, Indra Bambang Utoyo menegaskan bakal meramaikan bursa pemilihan ketum dalam musyawarah nasional (Munas). Indra tidak ingin bursa ketum Golkar hanya diisi Airlangga dan Bamsoet. “Selama ini hanya muncul dua calon. Itu buruk untuk persatuan di Partai Golkar,” kata Indra.

Menurutnya, Golkar rentan terbelah jika kontestasi pemilihan ketum hanya diisi dua kandidat. Ia mencontohkan pada 2013 saat Aburizal Bakrie (ARB) dan Agung Laksono sama-sama maju. “Terjadi ketegangan antara pendukung ARB dan pendukung AL (Agung Laksono),” ucap Indra.

Ujungnya, terjadi dua forum munas. Jakarta, dan Bali. Dualisme kepengurusan muncul di Golkar. “Setelah hampir 1,5 tahun terpecah. Atas imbauan pemerintah, akhirnya diadakan munas bersama yang menghasilkan Setya Novanto menjadi ketua umum,” lanjutnya.

Konsolidasi Golkar, sempat terganggu lantaran Setya Novanto dan Sekretaris Jenderal (Sekjen) Golkar kala itu, Idrus Marham, terseret kasus korupsi. Golkar terpaksa menggelar musyawarah nasional luar biasa (munaslub) yang memilih Airlangga.

Berita Terkait

Tinggalkan Balasan