Kambing Semok

Tidak ada babi di Xinjiang. Yang dalam bahasa Mandarin disebut zhurou (猪肉).

Ups, ada. Hanya namanya tidak disebut babi (zhuru).

Provinsi paling barat Tiongkok itu penduduknya mayoritas Islam. Yang bukan Islam tidak ingin menggunakan kata yang sensitif itu –babi.

Bagaimana kalau sesama pemakan babi ingin janjian ke rumah makan yang ada sajian babinya?

Mereka menggunakan kata sandi –darou (大肉)– sebagai pengganti zhuru.

Tentu Robert Lai tidak pernah mengajak saya ke resto yang ada ‘daru’-nya. Ia pun puasa daru selama 10 hari bersama saya di Xinjiang.

Memang ia begitu. Selalu menjaga saya. Di daerah mana pun di Tiongkok.

Justru ialah yang selalu memeriksa menu. Halal atau tidak. Sebelum memesan makanan di sebuah restoran.

Di Xinjiang hanya restoran tertentu yang menyajikan ‘daru’. Pada umumnya restoran di sana menyajikan makanan halal.

Pagi kambing.

Siang kambing.

Malam kambing.

Sate kambing Xinjiang luar biasa terkenalnya. Rasanya –lebih-lebih ukurannya.

Masakan Xinjiang pun merambah sampai ke semua kota besar di Tiongkok.

Istri saya, putri saya, cucu saya semua penggila sate Xinjiang. Kadang sampai membawa tepak. Sate itu dilepasi. Dimasukkan tepak. Dibawa pulang –sampai Indonesia.

Saya pun menyerah: tidak bisa lagi tidak makan daging. Padahal sudah berapa tahun terakhir saya menghindarinya.

Xinjiang membuat saya batal puasa daging.

Yang saya masih bisa bertahan adalah tidak makan lemaknya. Padahal –menurut para ahli kambing– itulah yang paling lezat: sate kambing bagian lemaknya!

“Anda coba. Ini kambing Xinjiang,” ujar pelayan resto itu.

“Takut kolesterol,” jawab saya.

“Aneh. Bagian terlezat tidak dimakan,” tambahnya.

“Takut kolesterol,” ulang saya.

“Kambing Xinjiang tidak sama,” debatnya. Dengan bahasa yang berapi-api.

“Di seluruh dunia kambing itu sama,” jawab saya.

“Kambing di sini tidak sama. Tidak diternakkan. Makanannya bukan bikinan pabrik. Semua kambing dilepas liar di gurun”.

Saya diam.

Sikap saya tetap. Biar pun di gurun makannya rumput juga. Tapi saya tidak mau berdebat soal kambing. Saya diam saja.

Ia yang masih tidak bisa menerima. Kok ada orang justru membuang bagian terlezat.

Berita Terkait

Tinggalkan Balasan