Jarwo Susanto, Pengusaha Tempe yang Merambah Pasar Luar Negeri

NAMA Jarwo Susanto sudah tidak asing di kawasan eks lokalisasi Dolly. Mantan penjual kopi yang sekarang menjadi pengusaha tempe itu semakin melebarkan sayap usahanya. Kini, dia mulai merintis pasar luar negeri.

ARIF ADI WIJAYA, Surabaya

Tiga bak besar tertata rapi di Jalan Kupang Gunung Tembusan Gang II No 6. Seorang lelaki kurus sibuk mencuci biji kedelai. Kulit kedelai disaring dengan menggunakan keranjang besar. Dia adalah Jarwo Susanto. Pria yang dulu menolak keras penutupan lokalisasi Dolly pada 2014 itu sedang banjir orderan tempe. ”Ini 25 kilogram kedelai untuk pesanan 500 biji tempe,” ujarnya.

Bapak satu anak itu mengatakan, tempe yang dirinya produksi sejatinya tidak jauh berbeda dengan tempe lain. Bedanya, ada cerita di balik usaha tempe yang dia rintis sejak Oktober 2014, tepat tiga bulan setelah aparat menutup paksa lokalisasi terbesar di Asia Tenggara itu.

Jarwo mengungkapkan, tidak ada rencana untuk menjadi pengusaha tempe. Sebab, dia sudah nyaman dengan pekerjaannya sebagai penjual kopi yang digeluti selama 15 tahun. Pelanggannya yang juga ”tamu” para pekerja seks komersial (PSK) di Dolly sudah banyak. Omzet per bulan dari menjual kopi bisa mencapai Rp 45 juta Sayang, usaha warung kopinya harus banting setir. Keadaan yang serbasulit mendorongnya untuk belajar. ”Saat itu saya dicari polisi karena menolak penutupan Dolly. Saya kabur ke luar kota,” terangnya.

Jarwo berpindah-pindah tempat saat diburu aparat. Mulai Pasuruan, Malang, hingga Sidoarjo. Di Sidoarjo, dia mengungsi di rumah kakaknya yang merupakan pengusaha tempe. Di tempat itu pula, dia mulai belajar.

Setelah dua pekan belajar, Jarwo membuat tempe sendiri. Namun, dia belum berani kembali ke rumahnya di Dolly. Sebab, sembilan temannya yang ditangkap polisi belum diadili. Dia baru kembali ke Dolly setelah sembilan temannya itu divonis bersalah oleh Pengadilan Negeri (PN) Surabaya.

Saat kembali ke rumah, Jarwo merasa ada yang aneh. Sebab, hiruk pikuk di sepanjang Jalan Girilaya sudah tidak seperti dulu. Suasananya lebih sepi. ”Saya mulai mikir dan akhirnya memantapkan diri untuk memulai produksi tempe,” ujarnya. Suami Munasifa itu mengatakan tidak mudah memulai usaha tempe. Bukan soal produksinya. Yang sulit adalah memasarkan tempe ke pedagang, toko kelontong, maupun pelanggan rumahan.

Tinggalkan Balasan