Hati-hati Menulis Berita Kasus Anak

BOGOR – Mulai kedepan pemberitaan kasus anak baik di media cetak, online ataupun elektronik agar berhati-hati, pasalnya jangan hanya demi rating dan oplah, pemberitaan malah membuat wartawan ataupun perusahaan pers terjerat hukum 5 tahun dan denda Rp 500 juta.

Pada pemberitaan kasus anak menurut Ketua Komisi Kompetensi PWI Pusat Kamsul Hasan, semua data dan informasi identitas anak dan pelaku masih anak-anak dan baru pertama melakukan agar dilindungi, seperti nama, foto, nama keluarga, alamat, desa. Bahkan ciri-ciri korban tidak disebutkan.

Menurutnya, pemberitaan ramah anak ini guna mendorong pers menghasilkan berita positif, berempati dan melindungi hak, harkat, martabat anak yang terlibat pada persoalan hukum ataupun tidak, baik itu sebagai pelaku, korban atau saksi.

“Tujuannya, sebagai langkah preventif melindungi wartawan dari jerat hukum pidana sebagaimana diatur di UU Nomor 11 tahun 2012 tentang SPPA,” jelas dia disela menjadi narasumber pelatihan dan sosialisasi pertama UU Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA) dan Pedoman Pemberitaan Ramah Anak (PPRA) Dewan Pers, bagi 30 wartawan Jabotabek dan Jabar, di Bogor, Rabu (19/7).

Pada pelatihan selama dua hari itu, Kamsul menyampaikan jika wartawan dan perusahan media melanggar UU
SPPA atau membuka identitas si anak ataupun faktor pendukung ciri si anak dipastikan akan terjerat hukum.

“UU SPPA ini lebih tinggi kedudukanya dibandingkan UU Pers karena menyangkut semua lembaga didalamnya,” kata dia.

Bahkan aparat kepolisiaan, hakim, juga bisa terjerat dengan UU ini jika melanggar. Seperti tertera pada pasal 96 UU SPPA bahwa jika penyidik, penuntut umum, dan hakim yang sengaja tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud pada pasal 7 ayat 1, dipidana dengan penjara paling lama 2 tahun atau denda paling banyak Rp 200 juta.

Lanjutnya dalam pasal 7 ayat 1, penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan perkara anak di Pengadilan Negeri wajib mengupayakan Diversi.

“Wartawan boleh memberitakan kasusnya, tapi dilarang keras mengungkap identitasnya,” paparnya.

Pelatihan dibuka asisten Deputi Partisipasi Media Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Fatahillah.

Ia berpesan agar jurnalis sebagai salah satu profesi harus turut bertanggung jawab atas masa depan anak, karena jika tidak mempersiapkan dan bertanggung jawab atas masa depan maka dia tidak memiliki masa kini (artinya sia-sia profesi tidak memiliki makna apa-apa).

Tinggalkan Balasan