Waspadai 6 Modus Kecurangan Pilkada

JAKARTA— Pilkada serentak 2018 membuat Polri terus memperkuat diri dalam memahami kemungkinan terjadinya kecurangan. Setidaknya ada enam kecurangan yang bisa terjadi dalam pilkada.

Kabagpenum Divhumas Polri Kombespol Martinus Sitompul menuturkan, sesuai pengalaman Polri selama ini ada enam modus kecurangan yang paling potensial terjadi. Pertama, intimidasi kepada pemilih. ”Membuat pemilih takut dan akhirnya tidak memilih atau justru memilih seseorang yang ditentukan. Kemungkinan terjadinya sebelum pemilihan,” paparnya.

Kedua, destruction atau gangguan-gangguan yang tujuannya membuat situasi tidak aman. Khususnya saat pemungutan suara berlangsung. ”ada tujuan khusus yang ingin dicapai,” terang mantan Kabidhumas Polda Metro Jaya tersebut.

Untuk yang ketiga, sudah sering terjadi sejak pilkada DKI Jakarta. Yakni, miss information atau hoax. Tentunya untuk mempengaruhi pemilih dan sebagainya. ”Ini yang cukup sering terjadi belakangan,” ujarnya.

Selanjutnya, adalah registration fraud atau manipulasi data. Manipulasi data pemilih ini bisa terjadi. Biasanya, untuk membuat pemilih kehilangan hak pilihnya. ”Kita waspadai,” jelasnya.

Kecurangan kelima, vote buying atau serangan fajar. Biasanya, terjadi sesaat sebelum pencoblosan dilakukan. ”Yang terakhir soal hate speech terhadap pasangan calon dan sebagainya,” ungkapnya.

Semua modus kecurangan itu akan ditangani oleh satgas yang telah dibentuk Polri, yakni Satgas anti SARA, Satgas anti money politic dan Satgas Nusantara. Menurutnya, ketiga satgas tersebut akan bergerak bila mengetahui ada kecurangan semacam itu. ”Semua sedang dipersiapkan,” tuturnya.

Satgas tersebut akan dibentuk hingga tingkat Polda dan Polres. Dia mengatakan, untuk di Polda dan Polres akan dilakukan perkuatan, baik penambahan personil dan menambah kemampuan. ”Pelatihan ini penting,” paparnya.

Pelatihan ini akan berkoordinasi dengan Kementerian Komunikasi dan Informatikan, Komisi Pemilihan Umum (KPU), Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) dan Pusat Pelaporan Analisa dan Transaksi Keuangan (PPATK). ”Perlu menambah pengetahuan personel,” ujarnya.

Salah satunya agar personel bisa mengetahui bagaimana cara melakukan profiling atau mendata menganalisa seseorang atau masalah. ”Lalu bagaimana cara untuk menelusuri jejak digital,” terangnya. Untuk di media sosial, bisa mengetahui akun yang berulang kali melakukan tinggakan melanggaran hukum. (idr/rie)

Berita Terkait

Tinggalkan Balasan