Tak Bisa Digeser Meski Permintaan Presiden

Cimahi kerap dinilai sebagai miniatur Indonesia. Tidak hanya plurarisme yang cukup kental. Namun, simbol budayanya pun hingga kini masih kental dan dipertahankan dengan baik. Salah satunya Kawin Cai.

Nur Aziz, Cimahi 

Tak seperti biasanya, Minggu (25/2), tampak begitu ramai. Bukan karena warga yang berbelanja, tapi hadirnya ratusan orang berpakaian pangsi serba hitam dengan ikat kepala khas Jawa Barat.

Ada juga beberapa dari mereka yang berpakaian pangsi serba putih dan juga dengan ikat berwarna putih pula ikut dalam rombongan.

Pernak-pernik aksesoris seperti golok, tongkat berkepala ular, gelang bahar, cincin berbatu ali besar, caping juga menghiasi tubuh sebagian orang tersebut. Sekilas, dari cara mereka berdandan, penampilan mereka seperti para pendekar yang berada di film-film tempo dulu, yang berbondong bondong akan pergi menyerang musuhnya. Tapi tunggu dulu, mereka adalah kumpulan komunitas kabuyutan yang akan melakukan prosesi ritual Kawin Cai sa-Nusantara yang digelar di Kabuyutan Cipageran, Jalan Kolonel Masturi, Kota Cimahi.

Ritual Kawin Cai yang sebelumnya akan dihadiri presiden Indonesia Joko Widodo tersebut biasanya selalu digelar di bulan Dzumadil Awal atau Dzumadil Akhir. Uniknya, pagelaran tidak boleh melebihi bulan-bulan tersebut.

Hal itu pulalah yang menyebabkan Presiden urung datang ke acara tersebut. Sebab adanya keinginan dari Joko Widodo untuk memundurkan waktu pelaksanaan acara tidak dapat dipenuhi.

Sebelum melaksanakan prosesi ritual, beberapa orang-orang yang hadir termasuk para sesepuh kabuyutan melakukan ziarah ke makam Eyang Sembah Dalem Wirasuta terlebih dahulu.  Menurut penuturan sesepuh Kabuyutan Cipageran, Eyang Dalem Wirasuta adalah salah satu tokoh Sunda yang diyakini sebagai leluhur Kabuyutan Cipageran.

Karena lokasi makam dengan Kabuyutan Cipageuran hanya beberapa ratus meter saja, maka untuk menuju makam tersebut cukup hanya berjalan kaki saja. Suara terbangan (alat musik seperti rebana namun lebih besar) dan salawat mengiringi perjalanan menuju makam.

Sesampainya di makam, mereka masuk melalui sebuah gapuran putih yang bertuliskan nama sang empunya makam. Makam milik Eyang Wirasuta tersebut, berada di dalam sebuah bangunan yang membedakan dengan makam lainnya. Tak lama kemudian para penziarah duduk di depan makam. Salah seorang tokoh adat Kabuyutan Cipageran kemudian memimpin doa untuk mendoakan Eyang Dalem Wirasuta, para penziarah berdoa di depan makam sambil menabur bunga, lengkap pula dengan sesajen berupa cerutu dan kemenyan yang sudah dibakar.

Tinggalkan Balasan