Survei, Jokowi Ungguli Prabowo

JAKARTA – Elektabilitas pasangan Calon Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan Ma’ruf Amin masih cukup baik pasca ditetapkan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) beberapa pekan lalu. Jokow-Ma’ruf Amin masih berpeluang menang di Pilpres 2019. Itu terbukti dengan hasil survei yang dilakukan oleh lembaga penelitian Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC).

SMRC melakukan survei pada 7-14 September 2018 terhadap 1.220 responden, dalam simulasi dua nama capres, yakni Jokowi dan Prabowo. Sebanyak 60,2 persen responden memilih Jokowi sedangkan 28 persen memilih Prabowo.Sementara responden tidak tahu atau tidak menjawab sebanyak 11,1 persen.

Tak hanya itu, saat disodorkan dua pasangan nama capres-cawapres (Jokowi-Amin dan Prabowo-Sandi) Jokowi tetap unggul dengan elektabilitas 60,4 persen mengalahkan Prabowo dengan elektabilitas 29,8 persen.

Menurut Direktur Eksekutif SMRC Djayadi Hanan, dari pengalaman di tiga kali Pilpres, calon yang trennya unggul sangat sulit dikalahkan saat berlangsungnya Pilpres.

”Dari pengalaman tiga kali Pilpres, calon yang trennya unggul terus sulit dikalahkan pada hari H,” kata Djayadi Ha­nan dalam pemaparan hasil survei bertajuk Tren Elektabi­litas Capres pengalaman men­jelang hari H (2004-2019), di Jakarta, kemarin (7/10).

Djayadi lantas menyontohkan hal tersebut dialami Presiden ke-enam Susilo Bambang Yud­hoyono (SBY) yang kembali dipilih pada Pilpres 2009, ka­rena tren elektabilitasnya sel­alu unggul sejak jauh hari. Sebaliknya, Djayadi mengata­kan petahana bisa kalah, jika trennya selalu kalah sejak awal.

Sebagai perbandingan, kata dia, Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri seba­gai petahana, kalah pada Pilpres 2004, karena trennya sudah kalah dalam beberapa bulan menjelang hari pemilihan.

Jokowi selaku petahana da­lam Pilpres 2019, trennya selalu menguat dibandingkan capres Prabowo. Djayadi menuturkan, Jokowi sejatinya pernah mengalami penurunan elektabilitas pasca-terjadinya peristiwa kerusuhan di Mako Brimob, dan bom di Surabaya Mei 2018 silam, karena ada kecemasan publik atas kon­disi keamanan. (fin/ign)

Berita Terkait

Tinggalkan Balasan