Sukmawati Minta Maaf

JAKARTA – Sambil terisak, putri keempat Presiden Soekarno, Sukmawati Soekarnoputri menyampaikan permintaan maafnya di hadapan publik kemarin (4/4) atas puisi berjudul ”Ibu Indonesia” yang dianggap telah menghina agama Islam.

”Dengan ini, dari lubuk hati yang paling dalam, saya mohon maaf lahir dan batin pada umat Islam indonesia khususnya bagi yang merasa tersinggung dan keberatan,” ungkap Sukmawati di hadapan awak media.

Dia menyebut, puisi yang dia bawakan disesuaikan dengan tema acara pagelaran busana 29 Tahun Anne Avantie berkarya di ajang Indonesia Fashion Week 2018 di Jakarta Convention Centre (JCC) kamis (29/3) lalu. Yakni ”Cultural Identity”.

Puisi tersebut, kata Sukma­wati adalah salah satu bagian dari buku antologi puisi Ibu Indonesia yang telah diter­bitkan pada 2006. Lewat puisi tersebut, Sukmawati ingin mengingatkan kem­bali anak-anak bangsa untuk tidak melupakan jati diri me­reka.

Sukmawati mengatakan, dia sama sekali tidak bermaksud untuk menghina umat Islam. Dia menegaskan dirinya ada­lah seorang muslimah yang bangga dengan keislamannya, dan juga putri seorang pro­klamator, tokoh Muhamma­diyah, dan pemimpin negara yang diberi gelar oleh Nahd­latul Ulama sebagai Waliyul Amri Ad Dharuri Bi Asy Sy­aukah (Pemimpin pemerin­tahan di masa darurat), ya­kni Bung Karno.

”Saya pun tergerak untuk memahami Islam Nusantara yang Berkemajuan sebagai­mana cita-cita Bung Karno,” ujar Sukmawati.

Terpisah, Sekjen Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PB­NU) Helmy Faishal Zaini ber­harap kepada semua pihak agar lebih mengutamakan prinsip tabayun. ”Sebab, sangat mungkin pemahaman atau penyampaian bu Suk­mawati terhadap makna sya­riat Islam tidak utuh,” jelas Helmy.

Helmy juga berharap agar permasalahn tidak dibawa ke ranah hukum. Masalah ini dapat diselesaikan dengan terlebih dahulu melakukan dialog dan silaturahmi. ”Cu­kup dengan tabayyun, saya berkeyakinan tidak ada nia­tan dari bu Sukmawati untuk melecehkan Islam,” jelas Helmy.

Kendati demikian, Helmy Faishal juga berpendapat, hendaknya para tokoh bisa secara tepat dan lebih hati-hati ketika menggunakan kalimat atau diksi dalam berin­teraksi, utamanya dalam ru­ang publik. Jangan mengguna­kan kalimat yang dapat ber­potensi mengganggu bangu­nan ke-Indonesiaan.

Berita Terkait

Tinggalkan Balasan