Suara Pilkada Boleh Beda, Merah Putih Kita Sama

Bandung – Ketua Majelis Permusyawartan Rakyat Republik Indonesia (MPR RI) Zulkifli Hasan menuturkan, nasionalisme bangsa Indonesia lahir paling bontot jika dibandingkan dengan negara lainnya. Sebab, baru muncul pada abad 20. Padahal, negara Indonesia memiliki masyarakat dengan kultur dan budaya yang ramah.

”Nasionalisme bergerak dan berkembang sesuai dengan perkembangan zaman yang pada waktu itu dipimpin bung Karno dan kawan-kawan,” kata pria yang akrab disapa Zulhasan itu saat menjadi pembicara dalam seminar motivasi bertajuk Kami Indonesia yang digelar di Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung, kemarin (13/02).

Zulhasan yang didampingi Ketua KPK RI Abraham Samad, Anggota DPD/MPR RI Oni Suwarman dan sejumlah pihak lainnya menilai, rasa nasionalisme kembali mengalami kemunduran. Masyarakat seolah melupakan nilai-nilai nasionalisme yang terkandung dalam undang-undang dasar (UUD) 1946 dan juga dalam Pancasila yang seharusnya melahirkan kesetaraan dalam bermasyarakat.

”Kita mulai kehilangan siapa kita karena semua orang mau cepat. Mau jadi pejabat cepat, mau kaya cepat dan akhirnya berujung pada korupsi,” urainya.

Bukan hanya itu, Zulkifli juga menilai maraknya tindakan intolerasi serta penganiayaan terhadap para pemuka agama adalah kondisi di mana masyarakat saat ini sudah mulai terpecah belah dan mengalami degradasi moral. Dirinya menduga tindakan kriminal yang terjadi beberapa waktu lalu sengaja dilakukan pihak yang ingin memecah belah bangsa.

”Sepertinya saya menduga kekerasan terhadap pemuka agama sepertinya sistematis,” urainya lagi.

Maka dari itu, dengan adanya seminar motivasi tersebut, Zulkifli berharap masyarakat mampu menyatukan kembali ‘Merah Putih’ yang saat ini mulai terkoyak karena tindakan intoleran dan kriminalitas yang semakin tidak pandang latar belakang.

”Pilkada boleh beda, suku boleh beda, agama boleh beda tapi kita satu Indonesia, merah putih kita sama,” tegasnya.

Sementara itu, mantan Ketua KPK RI Abraham Samad menuturkan, masyarakat saat sudah salah dalam menilai pejabat karena beranggapan pejabat yang berhasil adalah yang memiliki uang banyak. Lebih parah lagu, hal tersebut juga menjadi budaya instan yang kerap terjadi di Indonesia.

”Kita menganggap orang yang hebat adalah orang yang mempunyai duit dan ini yang menjadi role model bagi generasi muda saat ini,” kata Abraham.

Berita Terkait

Tinggalkan Balasan