Presidential Threshold Digugat

JAKARTA – Para pemohon uji materi pembatalan pasal presidential threshold atau ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden, nampak optimistis jika gugatan ke Mahkamah Konstitusi (MK) kali ini akan dikabulkan. Demi meyakinkan para hakim konstitusi, para pemohon menyebut memiliki sembilan argumen baru yang patut didengar dan menjadi perhatian untuk diambil keputusan dalam persidangan nanti.

Pernyataan itu disampaikan Hadar Navis Gumay, mantan komisioner Komisi Pemilihan Umum RI yang menjadi salah satu pemohon uji materi pasal 222 UU nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilu. Hadar menyatakan, uji materi diajukan sebagai pihak-pihak nonpartisan, yang tidak terkait tujuan calon presiden atau partai politik tertentu.

”Meski pasal 222 UU Pemilu sudah diajukan 10 kali (semuanya ditolak, red), kami tetap anggap hal ini sangat penting,” kata Hadar. Hadar didampingi sejumlah pemohon lain, di antaranya direktur eksekutif Perludem Titi Anggraini, akademisi Rocky Gerung, dan sejumlah aktivis lain.

Hadar menyampaikan, pasal 222 terkait ambang batas pencalonan presiden bukanlah mandat dari UUD 1945. Pasal 222 justru mengatur syarat, dimana parpol yang berhak mengajukan calon presiden maupun calon wakil presiden adalah parpol atau gabungan parpol yang memiliki 20 persen kursi DPR atau 25 persen suara nasional, hasil pemilu 2014. Padahal, yang diamanatkan oleh UUD adalah tata cara pencalonan.

”Dalam konstitusi kita yang sebetulnya syarat-syaratnya sudah jelas, pasal 22 menambah syarat,” kata Hadar.
Dalam argumen kedua, pasal 222 juga membatasi parpol mana saja yang berhak atau boleh mengajukan capres maupun cawapres. Parpol yang tidak memiliki kursi atau parpol baru praktis tidak bisa mengajukan capres dan cawapres. Padahal, konstitusi hanya mengatur yang berhak mencalonkan adalah parpol peserta pemilu. ”Jelas ini bertentangan dengan konstitusi kita,” ujarnya.

Argumen ketiga adalah alasan yang selama ini disebut dalam putusan MK, bahwa pemerintah dan DPR diberi ruang untuk mengatur lebih lanjut, atau diistilahkan open legal polecy. Namun, kata Hadar, apa yang diatur konstitusi sudah sangat jelas dan tidak ada perintah mengatur lebih jauh. ”Maka ini sebenarnya adalah close legal polecy, ini hal yang tidak perlu diatur dalam UU,” kata sosok yang pernah aktif di Center Electoral Reform (Cetro) itu.

Berita Terkait

Tinggalkan Balasan