Nia Kania Dewi menjadi populer di kalangan guru SMP di Kota Bandung. Dia satu-satunya guru Kota Bandung dari 22 finalis se-Indonesia yang mendapatkan penghargaan Satya Lencana Pendidikan Berprestasi dari Presiden RI.
ERIEK TAOPIK, Babakan Ciparay
SEKILAS tak ada yang berbeda dari sosok Bu Nia—sapaan akrab para murid di SMPN 36 Kota Bandung kepada Nia Kania Dewi, 47. Selain cantik, guru kelahiran 15 April 1971 tersebut juga ramah kepada para murid.
Ternyata, sikap ramah ini yang melekat dalam pembelajarannya di kelas sebagai guru Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS). Bawaannya tenang. Bicaranya luwes.
Bagi dia, jadi guru itu harus begitu. Biar anak mau mendengarkan. Mau diajak belajar. Tidak terpaksa karena takut nilai jelek.
Perempuan yang senang membaca itu menilai, IPS bukan hukum pasti. Penyampaiannya harus mengikuti perkembangan zaman. Kadang, kondisi ini yang kerap memusingkan peserta didik. Sebab, dijejali beragam buku bacaan dan hitungan ekonomi yang makin maju, sementara guru menyampaikannya dalam bahasa yang begitu-begitu saja.
Kondisi ini rupanya disadari oleh Nia. Malah, dia juga sempat berpikiran seperti guru lain pada umumnya. Peserta didik harus bisa membaca buku tanpa harus disuruh-suruh. Hideng sorangan.
Kenyataannya, anak tidak mau membaca segitu banyak buku tanpa ada rangsangan atau ajakan dari guru. Makanya, pola ajar di kelas dia ubah. Dia mengajar sambil mengajak muridnya untuk tetap enjoy. Agar kegiatan belajar mengajar tak mumet. Caranya lewat interaksi games, simulasi, kuis dan lain-lain.
”Kalau mengajar begitu-begitu saja, jangankan murid, kita juga sebagai guru jenuh,” ujarnya.
Dan berhasil. Beragam metode yang dilakukan selama mengajar di SMP 36 itu juga membuatnya berprestasi. Dia diganjar penghargaan. Nia keluar sebagai Juara 1 Olimpiade Guru Nasional (OGN) IPS 2016. Saat itu, usianya 45 tahun. Usia cukup matang untuk seorang guru.
Tidak hanya berupa hadiah uang dan sertifikat dari Menteri Pendidikan, dia juga mendapatkan kursus gratis selama dua bulan di Belanda.
Nah, di sini, perjalanan karir menulis Nia muncul. Pada bimbingan teknis (Bimtek) pasca OGN, dia mengaku diwajibkan menulis satu buku dengan deadline satu bulan. ”Temanya bebas, yang penting positif,” ucapnya.
Layaknya penulis amatiran, dia pun sempat mandek di depan laptop cukup lama ketika memulai. Jari cuma ketak-ketik tak pasti. Khas penulis pemula.
Rupanya dia dibayangi ketakutan. Khawatir keteteran. Sebab, deadline cuma sebulan. Sementara dia juga mengerjakan buku sambil mengajar. Mumet.
Tapi, dia tidak menyerah. Dia memaksakan diri menyelesaikan penugasan. Dia punya bekal cerita meski mulanya sulit ditulis.
”Dari deadline sebulan itu akhirnya muncul buku pertama saya, judulnya Cerita dari Negeri Bawah Laut. Isinya tentang perjalanan saya belajar di Belanda,” urainya.
”Eh, beres dari buku pertama malah jadi ketagihan. Akhirnya metode belajar saya di kelas pun akhirnya jadi buku kedua dengan judul Guru Sang Koki Pembelajaran,” sambungnya sambil tersenyum.
Buku ketiga dan setelahnya, bukan lagi dikerjakan karena penugasan. Malah refreshing. Setiap buku muncul dari ide sehari-hari.
Dia mengaku, selama ini mendapatkan banyak hikmah dari OGN. Bukan karena nilai hadiahnya, tapi lebih dari itu dia mendapatkan banyak link untuk belajar lebih luas.
Dalam arti, pergaulan positif. Meski banyak berkutat dari grup WhatsApp. Tapi dari situ, dia banyak pengalaman belajar. Termotivasi.
”Bahkan, guru di Kalimantan untuk sampai ke kota bisa sampai enam jam, tapi mereka tetap semangat belajar dan mengajar. Perjuangan mereka mengajar sangat hebat. Dari situ saya berpikir, saya guru di Bandung, kenapa tidak bisa sesemangat mereka untuk mengajar. Harus lebih dari mereka yang di daerah,” paparnya.
Sementara itu, Nia juga sepakat sebaik-baiknya ilmu adalah yang bermanfaat. Perempuan berkacamata itu pun mempraktikan itu di lingkungan di mana dia mengajar: SMPN 36. Nia tidak mau sendirian yang bisa menulis buku.
Nia pun menerapkan pola yang mirip dengan metode yang dia buat untuk peserta didik. Tiap guru ditantang membuat tiga cerita pendek. Cerpen-cerpen terpilih dari para guru itu kemudian diterbitkan jadi buku.
”Sekarang, Alhamdulillah, empat puluh guru yang mengajar di SMPN 36, semua minimal punya satu buku yang mereka terbitkan,” ungkap lulusan S2 Unpas Manajemen Pendidikan dan S2 Pendidikan IPS STKIP Pasundan itu bangga.
”Halangan pertamanya, ide. Kedua, takut salah menempatkan titik dan koma. Kemudian, kata kerja dan menerangkan tempat. Urusan salah mah belakangan. Yang penting idenya dulu ditulis,” urainya.
Dia menilai, persoalan titik koma akan terkikis oleh self editing. Sebab, seseorang yang sungguh-sungguh akan sadar akan kesalahannya jika membaca kembali lembaran yang dia tulis.
Tak lupa, dia pun selalu berdiskusi dan meminta penilaian yang objektif prihal setiap buku yang akan diterbitkan. Ketika mendapatkan kritik, dia tidak mutung. Dia catat, lalu diperbaiki.
Dan kini, dalam dua tahun, lebih dari sembilan buku yang sudah diterbitkan oleh istri dari Suhendar, pekerja swasta itu. Beberapa di antaranya merupakan naskah kedinasan yang tidak di-publish untuk umum. Salah satunya yang dilampirkan dalam portofolio persyaratan penghargaan.
Dua tahun aktivitas ini juga yang membuatnya dipanggil ke Istana untuk mendapatkan Satya Lencana Pendidikan Berprestasi dari Presiden, Sabtu (25/11) mendatang. Nia menjadi satu dari 22 orang finalis se-Indonesia yang dipanggil Presiden Joko Widodo setelah pada 1 November lalu diterbitkan dalam Keputusan Presiden nomor: 120/tk/Tahun 2018. Salah satu syaratnya, pernah mendapatkan penghargaan setingkat menteri.
”Penghargaan tersebut diberikan setelah melihat portofolio peserta. Jadi tidak bermodal satu sertifikat dari menteri (dari OGN 2016, red). Yang dinilai justru apa yang kita lakukan setelah kita juara,” tuturnya.
Makanya, dia pun sungkan menularkan ilmunya kepada teman-temannya di sekolah. Digoda, ditantang, dijejali virus menulis itu gampang.
Nia tidak percaya dengan bakat. Apalagi yang diturunkan. Menulis, bagi dia hanya keterampilan. Semakin diasah makin tajam. (rie)