Makan Nasi Bungkus sebelum Rapat Redaksi

Daoed Joesoef menganggap kebijakan normalisasi kampus semasa dirinya menjadi menteri dulu disalahpahami. Pada usia senjanya masih menelurkan novel setebal lebih dari 400 halaman.

FERLYNDA PUTRI, Jakarta

BAMBANG Pharmasetiawan masih ingat betul perjumpaan tak sengaja itu. Di salah sudut Pasar Raya Jakarta itu, seorang mantan tokoh mahasiswa menghampirinya.

’’Dia tahu kalau saya menantu Pak Daoed (Joesoef). Kepada saya dia bilang, kebijakan bapak puluhan tahun silam itu benar,’’ kata Bambang kepada Jawa Pos (Jabar Ekspres Group) kemarin (24/1).

Mata Bambang tiba-tiba merah selepas menceritakan peristiwa di Pasar Raya sekian tahun silam tersebut. Suaranya pun parau. Air matanya mengumpul meski dia berusaha keras tidak menangis. Ingatan itu kembali menghampiri Bambang pada hari ketika mertuanya dimakamkan.

Menteri pendidikan dan kebudayaan era 1978–1982 itu meninggal di usia 91 tahun pada Selasa (23/1) pukul 23.55 di RS Medistra, Jakarta, karena penyakit jantung.

Pria kelahiran Brastagi, Sumatera Utara, tersebut memang telah lama menderita penyakit jantung. Keluarga menyatakan, sejak Daoed berusia 73 tahun, sudah dipasang ring di jantungnya.

Kebijakan yang dimaksud Bambang tadi adalah NKK/BKK (Normalisasi Kehidupan Kampus/Badan Koordinasi Kemahasiswaan). Banyak pihak yang menuding kebijakan itu dimaksudkan mengebiri kebebasan mahasiswa karena dilarang berpolitik.

Ketika itu, bara peristiwa Malari memang masih terasa. Empat tahun sebelum penerapan NKK/BKK, persisnya 15 Januari 1974, terjadi demonstrasi mahasiswa yang diakhiri kerusuhan sosial. Mundur delapan tahun sebelumnya, mahasiswa juga turut berperan dalam runtuhnya Orde Lama.

Tapi, dalam banyak kesempatan, Daoed membantah tudingan tersebut. Sebagaimana diulangi Bambang kemarin, NKK/BKK sejatinya merupakan kebijakan yang menempatkan kampus sebagai pusat keilmuan.

’’Mempelajari politik sebagai ilmu boleh, tapi bukan sebagai politik praktis,’’ tuturnya.

Bambang dulu pun tidak mengerti apa yang dimaksud mertuanya yang pernah menjadi kepala Departemen Ekonomi Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (1962–1965) tersebut. Hingga akhirnya dia pun kerap berdiskusi dengan Daoed.

’’Dari diskusi itu, saya menyimpulkan jika sosialisasi NKK/BKK ini belum dalam. Sehingga yang dipahami hanya itu saja,’’ jelasnya.

Jadi, lanjut Bambang, selama ini ada salah pengertian mengenai NKK/BKK. Seolah-olah politik sama sekali tidak boleh dipelajari di lingkungan kampus. Padahal, menurut Daoed, hanya politik praktis yang tidak boleh dicampuradukkan dengan keilmuan. Sebab, dikhawatirkan, dinamika akademisi kampus akan cenderung memihak sesuai dengan ideologi politik yang dianut.

Tinggalkan Balasan