Kualitas Guru Jeblok

JAKARTA – Alokasi dana pendidikan 20 persen dari APBN rupanya belum memberikan dampak yang signifikan bagi mutu pendidikan di Indonesia. Dalam Rembuk Nasional Pendidikan dan Kebudayaan, Wakil Presiden Jusuf Kalla memberikan otokritik pada pemerintah dan pemangku kebijakan terkait dana pendidikan sekitar Rp 400 triliun per tahun.

Otikritik itu dimulai dari pertanyaan mendasar tetang mutu pendidikan di Indonesia. ”Kenapa pertanyaan selalu dengan dana Rp 400 T lebih dan itu akan naik terus menerus, belum bisa membawa generasi muda kita? Kita masih berkutat kepada kesejahteraan,” ujar JK kemarin (7/2).

Dia menegaskan kesejahteraan, bagi guru terutama, memang penting. Tapi, bukan berarti peningkatan mutu pendidikan luput dari perhatian. Dalam berbagai forum yang melibatkan guru, saat bicara tentang mutu pendidikan hampir semua peserta diam. Begitu bicara kesejahteraan naik, semua hadirin riuh.

”Padahal mestinya seimbang. Jangan hanya bicara kesejahteraan naik, semua tepuk tangan, Anda juga harus beri mutu lebih baik ke lulusan, sekolah lebih baik,” tegas JK.

Dengan dana Rp 400 triliun per tahun, JK menilai belum ada kenaikan signifikan mutu pendidikan Indonesia dibandingkan dengan negara lain. Indonesia masih berada di papan menengah dibandingkan dengan negara-negara tetangga.

”Vietnam di bawah kita, tapi dia juga memperlakukan (anggaran pendidikan, Red) di bawah 20 persen. Vietnam dari tingkat pendidikannya lebih tinggi daripada Indonesia, dari segi mutu pendidikannya,” jelas JK.

Meskipun mutu pendidikan itu terus diperbaiki mulai dari gedung sekolah, latar pendidikan guru yang minimal harus sarjana, hingga soal keterbukaan informasi. Siswa pun lebih mudah mengakses informasi dengan kecanggihan internet. Tapi, JK belum melihat peringkat Indonesia melebihi negara lain.

”Bisa saja kita maju tapi negara lain lebih maju. Sekarang persaingan itu adalah bagaimana kita melihat standar-standar di sekitar kita. Standarnya Malaysia, standarnya Singapura, Thailand dan sebagainya,” ungkap JK.

Salah satu indikatornya adalah tenaga kerja yang dikirim ke negara lain. Filipina misalnya telah mengirimkan banyak tenaga kerja formal di bidang marketing, akuntansi, dan mekanik. Sedangkan Indonesia masih didominasi oleh pengiriman tenaga kerja domestik. ”Tentu ada juga pekerja profesional kita, tapi kurang. Kita berada di situ. Tingkat kita seperti itu,”  paparnya.

Berita Terkait

Tinggalkan Balasan