KPK Terima Laporan Tiket Jadi Alat Gratifikasi

BANDUNG – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyatakan telah mendapatkan laporan terkait dugaan adanya sejumlah Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang memanfaatkan tiket penyelenggaraan Asian Games 2018 sebagai alat gratifikasi.

Juru Bicara KPK, Febri Diansyah mengatakan, gratifikasi tersebut dilakukan sejumlah pihak-pihak BUMN. Adapun, praktik yang dilakukan adalah dengan membeli tiket Asian Games untuk kemudian diberikan kepada pejabat.

”Saya harus pastikan ke direktur gratifikasi ya, tapi memang kami sudah menerima informasi bahwa ada pihak-pihak yang sudah menerima,” kata Febri di Bandung, kemarin.

Dikatakan Febri, perbuatan tersebut dinilai tidak patut dilakukan siapapun, apalagi para pejabat yang notabene merupakan orang-orang berada. Jika para pejabat tersebut ingin menyaksikan perhelatan Asian Games, seharusnya mereka membeli tiket sebagaimana seharusnya.

”Mereka haharusnya membeli sendiri seperti masyarakat yang lain, tidak kemudian malah menyalahgunakan posisi dan jabatannya,” kata dia.

Disinggung terkait batasan jumlah gratifikasi seperti yang dikatakan Wakil Presiden Jusuf Kalla terkait batasan nilai yang bisa dilaporkan adalah Rp 10 juta. Febri menyatakan, gratifikasi tidak memiliki batasan nilai tertentu. Sebab, dia menilai kegiatan untuk kepentingan termasuk dalam gratifikasi.

”Gratifikasi tidak ada batasan nilai, yang ada batasan nilai soal Rp 10 juta adalah konsekuensi pembuktian,” kata dia.

Menurutnya, mengacu pada penjelasan Pasal 12B Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi gratifikasi adalah pemberian yang memiliki arti luas. Sebab, bisa mencakup uang, barang, tiket perjalanan, perjalanan wisata dan fasilitas lain.

Lebih lanjut Febri menjelaskan, contoh yang paling sederhana adalah kasus yang saat ini menjerat Gubernur Jambi, Zumi Zola. Sebab, jika gratifikasi di atas Rp 10 juta, maka berlaku pembuktian terbalik atau pembalikan beban pembuktian.

”Untuk di bawah Rp 10 juta, maka JPU yang akan membuktikan. Jadi bukan soal batasan boleh atau tidak boleh diterima,” kata dia. (mg1/ign)

Berita Terkait

Tinggalkan Balasan