Kasus OTT Garut, Sekum DPW PKS Ini Sebut Cederai Demokrasi

BANDUNG: Sekretaris Umum DPW PKS Jawa Barat, Abdul Hadi Wijaya memberikan tanggapan terkait kasus operasi tangkap tangan (OTT) yang dilakukan Mabes Polri dan Polda Jabar terhadap ketua Panwaslu dan komisioner KPU Garut, belum lama ini.

Hadi mengaku kecewa pada pra pihak yang disebutnya telah mencederai demokrasi tersebut. “Selaku anggota DPRD yang pernah menjadi ketua Pansus yang membahas anggaran pilkada serentak di Jabar, saya sangat kecewa ketika mendengar adanya penangkapan dua penyelenggara pemilu di Garut Sabtu malam. Ini pencederaan berat bagi pesta demokrasi,” kata Hadi dalam keterangan pers di terima redaksi.

Menurut dia, Ketua Panwaslu dan Komisioner KPU Garut merupakan dua orang yang terpilih dalam proses seleksi resmi, dilantik sebagai pejabat publik dengan sumpah kepada Allah. “Seluruh kegiatan mereka dibiayai oleh dana milik rakyat, serta memikul harapan publik untuk penyelenggaraan pilkada yang berkualitas. Faktanya, mereka berdua terbukti lebih mementingkan diri sendiri dan mengkhianati kepercayaan rakyat,” sambungnya.

“Kami dan publik secara luas, layak menuntut agar KPU dan Bawaslu Jawa Barat, yang menunjuk dan mengangkat kedua tersangkq, segera secara ksatria meminta maaf atas musibah demokrasi ini. Kedua institusi ini harus melakukan langkah pembenahan berat, dengan pengawasan ketat Bawaslu RI dan DKPP,” jelasnya.

Selain itu, Pihaknya juga menyoroti banyaknya kasus pidana yang sudah lama serta menyangkut peserta pemilu dan jadi perbincangan di masyarakat, tapi tidak ada tindaklanjut dari penegak hukum. Dia menyontohkan dugaan ijazah palsu dari salah satu calon di Kota Bekasi. KPU dan Banwas seolah tuli, padahal sudah ada aduan masyarakat terkait kasus tersebut.

“Saat ini, publik banyak mempertanyakan tentang peraturan Kapolri soal penghentian sementara pemeriksaan pada pihak-pihak tertentu yang jadi peserta pada pilkada untuk menghindari kegaduhan politik yang mengancam stabilitas keamanan nasional. Sesungguhnya, ini membuka peluang terjadinya ketidakstabilan pemerintahan daerah selama 5 tahun mendatang. Apakah tidak lebih elegan jika Polri tidak menerbitkan Surat Keterangan Catatan Kepolisian ketika ada dugaan ijazah palsu pada diri sang calon?” ungkapnya. (ign)

Tinggalkan Balasan