Identifikasi Isu, Kelola Media Selama Krisis

Humas Jawa Barat berhasil menarik perhatian para juri di ajang Public Relation Indonesia Awards (PRIA) 2018. Salah satunya pada keikutsertaannya di Kategori Krisis. Mereka punya trik khusus menghadapi media selama krisis atau isu berkembang.

ANDY RUSNANDY, Surabaya

DEPARTEMEN Public Relation (PR) Humas Jabar duduk di masing-masing kursinya. Mereka tampak santai. Tak ada wajah tegang sama sekali. Musik berdendang pelan dari salah satu audio komputer. Mereka bersiap diri melampirkan 9 entry karya ke panitia Public Relation Indonesia Awards 2018.

Sekitar sembilan proposal disiapkan. Salah satunya pedoman krisis dan penanganan krisis. Kategori ini memang baru dikompetisikan tahun ini. Berkaca pada pengalaman selama ini, pembuatan dokumennya tak begitu sulit. Hingga batas waktu penyerahan karya, pada 16 Februari 2018, semuanya sudah diserahkan kepada panitia.

”Kami berteman baik dengan semua awak media. Sebab, merekalah kami bisa mengerjakan dengan lancar dan bisa meraih seperti ini,” kata Kepala Bagian Publikasi Peliputan dan Dokumentasi Ade Sukalsah, Kamis (29/3) malam usai acara PRIA 2018 di Surabaya.

Kategori Krisis yang dikompetisikan memang bersinggungan dengan media dan kondisi di lapangan. Dari hubungan baik itu, Humas Jabar memiliki pengalaman dalam membuat pedoman krisis. Baik pra maupun pascakrisis. ”Komunikasi krisis nilainya 40 persen,” katanya.

Dari ulasan dokumennya, Humas Jabar memaparkan enam isu yang berpotensi meledak menjadi sebuah keadaan krisis. Keenam isu tersebut yakni keadaan kahar yang disebabkan oleh fenomena alam, antara lain gempa bumi, angin puting beliung, banjir, dan tanah longsor.

Kedua, keadaan kahar yang disebabkan oleh kelalaian manusia, misal kebakaran dan kecelakaan kerja. Ketiga, kebijakan publik yang mengundang reaksi keras dari masyarakat sehingga terjadi protes masal.

Keempat, penyalahgunaan jabatan atau pelanggaran etik oknum kepemerintahan. Kelima, konflik sosial horizontal di tengah masyarakat majemuk yang terdiri atas beragam suku, agama, dan kebudayaan. Keenam, kondisi sosial mikro yang belum tertangani dan menuai keprihatinan publik di level regional maupun nasional.

”Kami memahami keadaan krisis bersifat tidak terduga dan dapat terjadi kapan saja. Sehingga perlu adanya sebuah unit komando khusus,” paparnya.

Berita Terkait

Tinggalkan Balasan