Harga Sebuah Tulisan

Seorang ibu memasuki sebuah stand pada kegiatan pameran Hari Guru Nasional (HGN) di Kota Bandung. Dia terlihat antusias sekali melihat buku-buku yang dipajang di atas meja. Mukanya berseri-seri menandakan dia merasa senang dan bahagia.

Tiba-tiba tatapannya berhenti pada tumpukan tabloid di atas meja. Ibu itu mengambil satu tabloid dan membolak- baliknya dengan mata berbinar-binar. Penjaga stand mulai memperhatikan ibu itu dan mendekatinya. ”Silakan  dibaca Bu. Ini salah karya kami, para guru SMP,” ujar penjaga stand dengan ramah.

”Oh, bagus sekali ya. Guru-guru sekarang sangat kreatif,” kata ibu pengunjung stand. ”Apakah saya boleh meminta satu tabloid?”

”Tentu saja boleh bu. Dengan senang hati, hanya mungkin ibu bisa mengganti dengan uang seharga Rp 5.000 saja,” jawab penjaga stand.

Begitu mendengar kata nominal ”Rp 5.000” ibu itu langsung menyimpan kembali tabloid di tempat semula dan berlalu sambil berkata  ”Ah nanti dulu ya!”

Bisa disimpulkan, perilaku ibu pengunjung stand pameran buku itu tidak mencerminkan perilaku semua orang dalam menghargai sebuah tulisan. Meski demikian, tidak juga lantas menggeneralisir gender.

Tapi, berbagai pertanyaan melintas dalam pikiran penulis. Bila dibandingkan dengan harga tiket parkir di sebuah mal, mana yang lebih mahal harganya? Tiket parkir  pasti lebih mahal harga tiket parkir di mal daripada harga tabloid yang ditawarkan oleh penjaga stand pameran buku di atas.

Harga tabloid itu sangat murah bila dibandingkan dengan proses terbitnya sebuah karya tulis melalui berbagai perjuangan penerbit dan penulisnya. Sebab, di dalam proses sebuah karya tulis itu menghabiskan ribuan jam membaca literasi, reportase, dan dipadupadankan dengan ide yang aktual,

Begitu pun dengan ketatnya persaingan. Banyak penulis besar yang merasakan pahit getirnya ditolak oleh editor halaman pengelola kolom opini pada sebuah tabloid, koran majalah dan buku. Makanya, semua pengorbanan para  penulis itu, sebenarnya tidak bisa dibeli dengan uang hanya Rp 5.000.

Apresiasi masyarakat terhadap  sebuah karya tulis memang bisa  dibilang jauh dari menggembirakan. Umumnya masyarakat luas belum mau berkorban  mengeluarkan uangnya untuk membeli karya-karya tulis yang ditawarkan. Mereka seperti merasa rugi. Bacaan gratis pun belum tentu dibaca.

Berita Terkait

Tinggalkan Balasan