41 Masjid Negara Terindikasi Radikal

JAKARTA – Indikasi radikalisme di masjid-masjid milik pemerintah dan BUMN terbukti. Penelitian dari Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyakarakat (P3M) menunjukan dari 100 masjid di lingkungan kementerian, lembaga, dan BUMN yang disurvei ada indikasi 41 masjid menyebarkan paham radikal.

Survei yang dilakukan P3M dan Rumah Kebangsaan itu menyasar 37 masjid BUMN, 28 masjid Lembaga, dan 35 masjid di kementerian. Pengambilan sampel dilakukan dengan cara seorang relawan merekam materi khutbah dan mengambil gambar brosur, bulletin, dan bahan bacaan lain di masjid tersebut. Semua materi itu lantas diolah untuk dinilai masjid tersebut terindikasi radikal atau tidak. Survey dilakukan setiap Jumat selama empat minggu, dari tanggal 29 September hingga 21 Oktober 2017. Kemarin (8/7) hasil survey tersebut dipaparkan di kanto PBNU, Jalan Kramat Raya, Jakarta Pusat.

Hasilnya, ada 41 masjid terindikasi radikal. Ketentuan radikal itu diterjemahkan dalam enam aspek. Yakni, pandangan sikap atau perilaku yang cenderung menganggap kelompok paling benar dan kelompok lain salah. Selain itu mudah mengkafirkan kelompok lain. Tidak bisa menerima perbedaan, baik perbedaan yang berbasis etnis, agama maupun budaya. Juga cenderung memaksakan keyakinannya pada orang lain. Bahkan, menganggap demokrasi termasuk demokrasi Pancasila sebagai produk kafir. Yang termasuk radikal juga membolehkan cara-cara kekerasan atas nama agama.

Ketua Dewan Pengawas P3M Agus Muhammad menuturkan dari 41 masjid yang terindikasi radikal itu 21 masjid di BUMN, 12 masjid di Kementerian, dan 8 Masjid di Lembaga. Tingkat radikal lantas dinilai berdasarkan kategori mulai dari rendah, sedang, dan tinggi.

”Rendah artinya secara umum cukup moderat tetapi berpotensi radikal. Misalnya, dalam konteks intoleransi, khatib tidak setuju tindakan intoleran, tetapi memaklumi jika terjadi intoleransi,” kata Agus yang menjadi koordinator penelitian tersebut.

Sedangkan dalam kategori sedang radikalismenya cenderung tinggi. Misalnya, dalam konteks intoleransi, khatib setuju. Tapi tidak sampai memprovokasi jamaah untuk bertindak intoleran. ”Sedangkan kategori Tinggi adalah level tertinggi di mana khatib bukan sekadar setuju, tetapi juga memprovokasi umat agar melakukan tindakan intoleran,” ujar dia.

Sekretaris P3M Sarmidi Husna menambahkan penelitian tersebut masih sebatas indikasi. Sehingga belum sepenuhnya mencermintkan realitas sebenarnya.

Berita Terkait

Tinggalkan Balasan