Sumartini Dewi, Dokter Peneliti Ciplukan Jadi Pendamping Obat Scleroderma

”Saya sebenarnya sudah angkat tangan. Lalu, saya per­bolehkan pasien itu mengon­sumsi daun dan batang ciplu­kan juga,” ungkap ibu empat anak tersebut. Sejak konsul­tasi itu, si pasien tidak kem­bali lagi. Sumartini berpikir si pasien sudah meninggal.

Tiga bulan berlalu. Pasien tersebut kembali ke klinik Sumartini. Dosen FK Univer­sitas Padjadjaran itu pangling. Kulit pasiennya yang semula kaku dan kisut menjadi tam­pak segar. Tak ada lagi wajah kaku seperti topeng. Yang terlihat adalah kulit yang ha­lus dan terdapat lemak di dalamnya. Seperti kulit orang kebanyakan.

Pasien tersebut juga menga­takan tidak lagi merasakan sesak. ”Dalam tiga bulan, berat badannya naik 5 kilogram (kg). Bagi penyandang scleroderma, itu merupakan perkembangan bagus,” ujar Sumartini.

Hal tersebut tentu membe­rikan angin segar. Sebab, se­lama ini tidak ada perbaikan signifikan pada pasien dengan riwayat scleroderma yang menggunakan pengobatan biasanya.

Untung, Sumartini memi­liki kebun di dekat rumahnya. Dia pun mengembangkan ciplukan. Anggota Asia Paci­fic League of Association for Rheumatology itu pun ber­niat melakukan penelitian. Tujuannya, membuktikan secara ilmiah ciplukan yang dapat menjadi obat sclero­derma.

Sejak 2015, penelitian mulai dijalankan. Dia mengambil sampel secara acak pada pa­sien yang berobat jalan di RS Cipto Mangunkusumo dan RS dr Hasan Sadikin. Namun, waktu itu dia tidak lagi me­minta pasiennya untuk me­rebus sendiri ciplukan. Dia menggunakan ekstrak ciplu­kan.

Untuk mengamati, Sumar­tini mengategorikan dua kelompok pasien. Kelompok yang diberi ekstrak ciplukan dan yang tidak. ”Ekstrak ci­plukan saya berikan sehari tiga kali dengan dosis 250 mg. Lama konsumsi 12 minggu,” katanya. (*/c11/oki/rie)

Tinggalkan Balasan