Suka Sama Suka, Kawini Saudara Kandung

Suku Polahi masih hidup terasing di dalam hutan belantara Humohulo Gunung Boliyohuto, Provinsi Gorontalo. Hingga kini mereka masih mempertahankan tradisi kawin sedarah alias inses.

JUNEKA S. MUFID, Gorontalo

MENDENGAR nama suku Polahi, ingatan Alim S. Niode terlempar sepuluh tahun lalu. Pada 2007 sosiolog Universitas Negeri Gorontalo itu bersama tim Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional (sekarang Badan Informasi Geospasial) bertemu suku terasing tersebut. Ekspedisi itu dilakukan untuk memetakan kondisi dan suku terasing. Salah satunya Polahi.

”Polahi itu sebetulnya masyarakat kritis saat pendudu­kan Belanda di Gorontalo,” ujar Alim yang ditemui di Gorontalo Rabu (19/7).

Merujuk catatan Alim, Be­landa yang datang ke Goron­talo pada 1700-an menerap­kan pajak emas yang tinggi. Warga yang tidak sepakat dengan kekejaman Belanda melarikan diri ke hutan dan beranak pinak. Itulah yang dianggap secara umum se­bagai cikal bakal suku Polahi yang dalam bahasa Goron­talo berarti pelarian.

”Di buku-buku yang ditulis J.F. Riedel disebutkan tentang polahi dan emas sekitar 1879-an,” ujar pria yang juga penu­lis buku Abad Besar Goron­talo itu.

Alim yang sekarang menjadi ketua Perwakilan Ombudsman Republik Indonesia (ORI) Go­rontalo tersebut menuturkan, untuk persebaran suku Polahi, ada yang ke timur seperti di Pegunungan Tilongkabila, Su­wawa, dan Pinogu. Ada pula yang ke barat seperti di hutan Boliyohuto, Tamaela, Paguya­man, Sumalata, Kwandang, Tilamuta, dan Boalemo. Per­bedaannya, Polahi yang di timur lebih sulit ditemui daripada yang di barat. Lantaran sulit ditemui itu, berkembang ce­rita yang lebih mistis mengenai suku tersebut.

”Polahi yang ini kata orang sudah setengah setan. Kalau jalan seperti melayang dan bisa menghilang,” kata Alim. Persamaannya, mereka juga menganggap lazim pernikahan sekandung. Baba Manio, ke­pala suku Polahi dari Hutan Humohulo, Panguyaman, Kabupaten Boalemo, mence­ritakan kebiasaan inses ter­sebut saat bertemu Alim dan tim dari Bakosurtanal.

”Kami tidak mengunjungi langsung tempat tinggal suku Polahi. Karena terasing di dalam hutan. Mereka turun setengah dan kami naik se­tengah,” ungkap Alim. Setengah yang dimaksud itu lebih dari dua jam perjalanan.

Berita Terkait

Tinggalkan Balasan