Suka Duka Dokter Paliatif Mendampingi Pasien Kanker Kronis

Maria bercerita, almarhum divonis kanker ginjal. Saat dia tangani, sudah dalam kondisi kronis. Pihak keluarga juga telah mengetahui kondisi tersebut.

Meski dirundung duka, dia mengaku ada sedikit kelegaan. Sebab, keinginan almarhum sebelum mengembuskan napas terakhir telah terwujud. ”Beliau sangat ingin mengumrahkan salah seorang yang dirasa sangat berjasa dalam hidupnya,” tutur perempuan kelahiran Jogjakarta itu.

Almarhum meminta sang istri untuk mencari sang pahlawan tanpa tanda jasa tadi. Dia mengatakan, agar setelah ketemu, sang istri mau berangkat umrah bersama orang tersebut. ”Kebetulan istri beliau baru saja kembali dari Tanah Suci,” ujarnya.

Menurut Maria, sebagian besar pasien yang ditransfer ke unit paliatif memang sudah dalam kondisi kronis. Sejujurnya, dia tak ingin seperti itu. Ibu dua anak tersebut berharap paliatif bisa dihadirkan sejak awal. Dengan begitu, kualitas hidup pasien bisa ditingkatkan.

Dia menjelaskan, ada penyakit-penyakit yang memang tidak bisa disembuhkan total seperti layaknya sakit flu. Contohnya, diabetes, darah tinggi, dan kanker. Namun, penyakit-penyakit tersebut bisa dikontrol. Dengan begitu, harapan hidup pun lebih panjang. ”Paliatif tidak memberikan obat kanker, itu tugas onkologis. Tapi, kita hadir untuk membantu pasien memperoleh quality of life,” ungkapnya.

Bayangkan. Divonis dokter sakit kanker. Bagi pasien, informasi tersebut serasa kiamat. Di samping harus menahan nyeri tak terkira, beribu kekhawatiran pun melanda. Tak jarang, pasien langsung menyerah. Belum lagi, ketika pasien menderita, keluarga pun mengalami beban yang sama beratnya. Lalu, pasien dan keluarga merasa tak memiliki harapan.

”Nyeri yang dirasakan ini bukan hanya fisik, tapi juga hati. Berbagai macam pikiran muncul. Ibu muda misalnya, terkena kanker payudara. Dia pasti langsung berpikir: apakah aku bisa jadi istri yang baik nantinya sementara kondisiku seperti ini? Bagaimana nasib anakku nanti? Atau, akankah suami saya tetap mencintai saya nantinya?” tutur alumnus Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada itu.

Di sinilah paliatif hadir, untuk mendampingi dan membantu pasien serta keluarga menghadapi kondisi tersebut. Membantu pasien bangkit dan menerima kondisinya. Sebab, ketika pasien bisa ”berteman” dengan penyakitnya, dia akan lebih kuat. Sebaliknya, bila pasien hidup dalam kemarahan dan tidak bisa menerima, justru dia lebih cepat drop.

Tinggalkan Balasan