Dengan speedboat, dengan motor trail, Sri Wahyumi Maria Manalip menempuh beragam risiko menyambangi pelosok wilayah yang berbatasan dengan Filipina. Bupati Kepulauan Talaud itu pernah hilang kontak tujuh jam karena dihadang ombak.
MIFTAKHUL F S, Talaud
PERISTIWA awal Februari 2017 itu masih terekam dalam ingatan Bupati Kepulauan Talaud Sri Wahyumi Maria Manalip. Sampai kapan pun. Sepanjang hayat.
Sebab, kematian terasa begitu dekat. Saat ombak setinggi 7 meter menghadang speedboat yang dia naiki. Dari Tahuna, ibu kota Kabupaten Sangihe, ke Melonguane, ibu kota Kabupaten Kepulauan Talaud.
GPS (global positioning system) tak berfungsi. Sedangkan semua pilihan penuh risiko berbahaya.
Melanjutkan perjalanan atau memilih berlindung berpotensi membuat speedboat terbalik dan digulung ombak.
Manalip dan rombongan akhirnya memilih berlindung. ”Saat itu kami hanya pasrah sama yang di atas (Tuhan, Red),” katanya.
Tuhan menjawab doa Manalip. Speedboat yang ditumpanginya lolos dari gulungan ombak. Terdampar di Desa Suang yang terletak di salah satu Kepulauan Sangihe. ”Tujuh jam kami hilang kontak,” ungkapnya.
Peristiwa mendebarkan itu hanyalah salah satu konsekuensi yang harus dihadapi sebagai pemimpin wilayah kepulauan. Perempuan yang terlahir pada 8 Mei 1977 tersebut mesti berani melakoni perjalanan laut untuk memantau wilayah. Untuk menyapa masyarakat serta melihat segala problematika mereka.
Perjalanan itu juga harus dilakukan untuk merawat kesetiaan warganya kepada negara Indonesia. Sebab, Talaud yang dipimpin Manalip adalah kawasan tapal batas Indonesia.
Salah satu pulau di kabupaten itu, Miangas, berbatasan langsung dengan Filipina. Bahkan, jarak Miangas ke Davao, kota di Kepulauan Mindanao, jauh lebih dekat ketimbang ke Melonguane.
Dengan speedboat, orang Miangas bisa mencapai Davao dalam waktu empat jam. Ke Melonguane, dibutuhkan waktu dua kali lebih banyak. Apalagi ke Manado, ibu kota Sulawesi Utara. Bisa sampai seminggu jika lewat laut.
Kabupaten yang dipimpin Manalip total memiliki 17 pulau. Hanya tujuh yang berpenghuni. Sepuluh lainnya belum terjamah.
Dengan kondisi geografis seperti itu, kalau pemimpinnya tak rajin menyapa rakyat, tidak getol merawat wilayah, ancaman migrasi ke negara tetangga tentu sangat terbuka.