Setara Boleh, Asal Jangan Kebablasan

SIAPA tak mengenal Rd. Ajeng Kartini. Pahlawan Perempuan asal Kabupaten Jepara, Jawa Tengah ini merupakan salah satu pahlawan pejuang hak asasi manusia, terutama kaum perempuan.

Namanya terus dikenang masyarakat Indonesi. Bahkan, setiap 21 April, selalu diperingati Hari Kartini untuk mengingat perjuangannya dalam kesetaraan derajat antara perempuan dan laki-laki atau yang disebut emansipasi.

Namun, kata emansipasi perempuan saat ini, mengalami pergeseran makna. Emansipasi seolah dijadikan kaum perempuan agar bisa berbuat apa saja tanpa batas. Padahal sejatinya, perempuan masih memiliki kodrat dan aturan-aturan khusus yang tak bisa dilanggar.

Menurut Wakil Rektor Bidang Pendidikan Universitas Komputer (Unikom) Prof Dr Hj Umi Narimah Dra SE Msi, kesetaraan gender diartikan sebagai upaya memperlakukan sama antara laki-laki dan perempuan di masyarakat.

”Keterasan itu bukan berarti gendernya sama. Namun, perempuan diperlakukan sama dengan laki-laki. Kodratnya perempuan itu ada di bawah laki-laki, yakni untuk mem-backup pasangannya,” ujar Umi kepada Jabar Ekspres di Padepokan Seni Mayang Sunda, Jalan BKR, Kota Bandung, belum lama ini.

Menurut Umi, saat ini, pemerintah sudah memberikan porsi yang pas bagi perempuan. Contohnya, melalui regulasi yang menyediakan 30 persen bagi perempuan duduk di parlemen ataupun mengisi organisasi.

Namun kenyatanyaanya, peluang itu belum sepenuhnya terealisasi. ”Kalau itu betul-betul dimanfaatkan oleh perempuan, sudah saja nggak usah ingin nambah,” ujar umi.

Menurut dia, porsi perempuan 30 persen di parlemen sudah pas. Bukan di parlemen, di bidang pekerjaan apapun, 30 persen bagi perempuan sudah sangat baik.

Umi mengatakan, berbagai macam peluang bisa dimanfaatkan oleh perempuan. Namun, tidak sedikit ketika perempuan menduduki jabatan tinggi dan sudah mapan, malah minta cerai. Hal inilah yang disebut kebabbalasan dalam emansipasi.

Menurut dia, perempuan sejatinya berada di bawah laki-laki. Bagi seorang istri, apapun yang dilakukan harus seizin suami.

”Jika melihat sejarah, Kartini itu perempuan berkarakter. Kartini merupakan sosok perempuan yang tangguh namun selalu mengikuti norma-norma hukum yang berlaku. Jadi, dalam mengambil keputusan, Kartini selalu meminta dukungan suami,” ujar Umi.

Berita Terkait

Tinggalkan Balasan