Permen 39 Tidak Ada Koordinasi

jabarekspres.com, SOREANG – Ditetapkan Peraturan Menteri Nomer 39 ahun 2017 tentang Perhutanan Sosial membuat kalangan DPRD Kabupaten Bandung disebut sebagai aturan yang tidak memiliki etika.

Ketua Komisi C DPRD Kabupaten Bandung, Yayat Sumirat mengatakan, Permen LH nomer 39 rencananya akan menjadikan Gunug Rakutak di Kabupaten Bandung sebagai Pilot Project, Namun, pada pelaksanaannya Kementrian LHK seolah-olah tidak memperdulikan keberadaan pemerintah daerah Kabupaten Bandung yang memiliki wilayah.

“Jangankan ke Bupati ke DPRD saja tidak ada tembusan,”jelas Yayat ketika ditemui kemarin (12/10)

Diinya menilai, dalam Permen tersebut disebutkan pada pasal 10 ayat 2 bahwa pemerintah daerah setempat harus dilibatkan dalam pelaksanaannya, tapi kenyataannya tidak ada komunikasi ataupun koordinasi sama sekali.

Melihat cara yang dilakukan KLH tersebut yang terkesan terburu-buru dia merasa curiga adanya Permen LH 39 ini memiliki maksud tertentu.

Dirinya menilai, Permen 39 LHK, akan menuai konflik horizontal antar masyrakat. Bahkan, indikasi ini sangat jelas dari informasi yang diperoleh bahwa yang akan diberikan hak pengelola hutan kebanyakan bukan penduduk setempat.

Yayat menyarankan, pemberlakukan Permen tersebut sebaiknya ditunda dulu. sebelum pihak DPRD melakukan verifikasi dan klarifikasi serta cek n ricek kelapangan. Sehingga, pihak dewan dapat dengan mudah mengarahkan kebijakan kepada pemerintah daerah setempat.

“Kami akan menggunakan kewenangan kami di undang undang nomer 23 tahun 2014 tentang pemerintahan daerah,” ungkapnya.

Sementara itu, Pembina Yayasan Jaga Balai, Tarna Diguna (67) menegaskan, para Aktivis lingkungan saat ini tengah mengajukan Judicial Review ke Mahkamah Agung. Sehingga, apapun nanti yang diputuskan pihaknya akan taat dan tunduk.

Sebagai Aktivis yang ikut menjaga kelestarian hutan di Kabupaten Bandung dia menilai, Permen LHK 39 hanyalah salah satu cara untuk mendapatkan tanah secara cuma-cuma

“Saya sangat tidak setuju dengan bagi-bagi tanah, ini yang membuat khawatir, karena menimbulkan arogansi kepada penggarap,”ucap Tarna.

Dirinya mengakui, memang dalam Permen itu diatur akan ada pengawasan dan monitoring, tetapi dengan rasa memilikinya kuat meski diawasi dikhawatirkan akan ada akal-akalan antara pengawas dan penggarap.

“Ini apalagi monitoringnya dilakukan hanya setahun sekali. Padahal sayuran per lima bulan sekali,” terangnya.

Berita Terkait

Tinggalkan Balasan