Memilih Mati Ketimbang Jadi Upeti

”Inilah aku, Citraresmi Putri dari Kawali. Aku tak akan lari juga tak akan berserah diri. Di sini darah pasukan Sunda mengalir wangi ke langit: kehormatan Galuh, kehormatan Sunda. Tak akan kuberikan diriku sebagai upeti. Akan tetap tegak kehormatan dan harga diri. Penghinaan tak akan bisa menyuntingku. Tak akan bisa menyentuh kehormatan negeriku.

Aku, Citraresmi, perempuan yang mereka cari, perempuan yang akan menentukan takdirnya sendiri. Tak akan lari, tak juga akan menyerahkan diri pada Majapahit. Dalam diriku mengalir darah perempuan-perempuan Sunda. Akan kualirkan darah itu dalam kesucian dan keberanian. Darah. Akan kualirkan darah dari perkawinan sejatiku dengan diriku sendiri.”

(Naskah Citraresmi)

Ratusan pasang mata takjub atas keputusan Dyah Pitaloka Citraresmi, yang diperankan Maudy Koesnaedi. Pengunjung tak menyangka, totalitas istri Eric Meyer tersebut bisa tampil total dalam mainteater Citraresmi di Nu-Art Sculpture Park, Jalan Setraduta Raya Nomor L6, Ciwaruga, Bandung, kemarin (1/11) malam.

Penonton larut haru atas titik nadir Citraresmi, yang merupakan satu sisi perwakilan kekuatan perempuan yang lebih memilih mati di ujung belati daripada menjadi upeti pada Kerajaan Majapahit.

Lewat naskah karya Toni Lesmana, Teater Tari ”Citraresmi’ memang mengangkat kisah  mengenai Dyah Pitaloka Citraresmi dan tragedi Perang Bubat pada 1261 tahun Saka atau 1339 masehi, di Kawali, pusat dari Kerajaan Galuh yang disebutkan dalam karya sastra Kidung Sundayana, kitab Pararaton dan kitab Pusaka Pararatwan i Bhumi Jawa Dwipa.

Masa di mana perempuan selalu diposisikan pada subordinat berabad-abad lamanya. Dipandang hanya sebagai kaum yang lemah, yang senantiasa membutuhkan bantuan dalam hidupnya. Dijadikan upeti, persembahan, rampasan perang atau terkadang dijadikan alat untuk memperluas wilayah. Seolah-olah sebuah barang ditempatkan seperti benda mati, bukan makhluk hidup yang mempunyai hati dan perasaan.

Tapi berbeda dengan Citraresmi. Putri dari Kerajaan Sunda itu, berangkat bersama rombongan kerajaan Pajajaran, didampingi ayahnya Maharaja Prabu Linggabuana dan ibunya Ratu Laralinsing, untuk melangsungkan perkawinan dengan Raja Hayam Wuruk dari Kerajaan Majapahit yang melamarnya.

Tapi sesampainya mereka di Bubat tak ada sambutan dari sang peminang, malah Patih Gajah Mada, meminta Kerajaan Galuh menyerahkan Citraresmi sebagai upeti.

Berita Terkait

Tinggalkan Balasan