Melawan Portugis dengan Pasukan Janda

Agar jejak inspirasinya lestari, keluarga berharap pemerintah kelak bisa membangun museum dan sekolah Malahayati. Adapun putra Lafran Pane mengenang sang bapak sebagai sosok yang sangat disiplin soal pendidikan dan kesehatan.

FERLYNDA PUTRI-BAYU PUTRA, Jakarta

DARI atas kursi rodanya, perempuan sepuh itu menerima plakat gelar dari Presiden Joko Widodo dengan perasaan campur aduk. Antara haru, gembira, dan bangga.

Sebab, plakat tersebut seolah membawa sang penerima, Teungku Putro Safiatuddin Cahya Nur Alam, melewati lorong waktu ratusan tahun. Menemui sang leluhur kebanggaan keluarga, Malahayati.

”Kami dari pihak keluarga sangat bahagia atas diresmikannya Malahayati sebagai pahlawan nasional,” kata Putro, keturunan ke-45 perempuan Aceh tersebut.

Ya, plakat yang diserahkan presiden di Istana Negara, Jakarta, kemarin (9/11) itu merupakan tanda disahkannya Laksamana Malahayati –wafat 402 tahun lalu– sebagai pahlawan nasional. Selain dia, tiga nama lain yang mendapat pengesahan serupa adalah almarhum Tuan Guru Kiai Haji (TGKH) Muhammad Zainuddin Madjid (Nusa Tenggara Barat), almarhum Sultan Mahmud Riayat Syah (Kepulauan Riau), dan almarhum Prof Drs Lafran Pane (Jogjakarta).

Menteri Sosial Khofifah Indar Parawansa menyatakan, dengan penganugerahan empat pahlawan nasional baru tersebut, pahlawan nasional Indonesia saat ini berjumlah 173 orang. Jumlah itu terdiri atas 160 laki-laki dan 13 perempuan.

”Pahlawan nasional adalah gelar yang diberikan pemerintah kepada seorang warga negara Indonesia (WNI) yang semasa hidupnya melakukan tindak kepahlawanan dan berjasa luar biasa bagi kepentingan bangsa dan negara,” ujarnya.

Khofifah menambahkan, pahlawan nasional bukan hanya yang berjasa di medan perang. Sedangkan permohonan usul pemberian gelar pahlawan nasional kepada presiden disampaikan melalui Dewan Gelar. ”Sebelumnya diadakan verifikasi, penelitian, dan pengkajian melalui proses seminar, diskusi, serta sarasehan,” katanya.

Keumalahayati –atau cukup dipanggil dengan Malahayati– adalah sosok di balik ketangguhan armada Angkatan Laut (AL) Kesultanan Aceh pada masanya. Ketangguhan perempuan kelahiran 1550 itu tersohor di kalangan penjelajah laut dunia pada masa tersebut. Dia pun diakui sebagai admiral atau laksamana AL perempuan pertama di dunia.

Keponakan Putro yang juga penulis buku Perempuan-Perempuan Aceh yang Bercahaya dalam Lintasan Sejarah, Datuk Pocut Haslinda Syahrul, menjelaskan, Malahayati memulai karir dengan mengikuti pendidikan admiral di Aceh. Kala itu di Aceh sudah ada sekolah AL yang dibangun Kesultanan Turki. Kebetulan, keluarganya juga berlatar belakang militer. ”Ayahnya itu laksamana, kakeknya laksamana, buyutnya adalah sultan, sebelum zaman Sultan Iskandar Muda,” terangnya.

Berita Terkait

Tinggalkan Balasan