Kisah Pengrajin Batik Tulis Dalam Mempertahankan Nilai-Nilai Tradisional

Menjadi seorang pengrajin batik bukanlah hal yang mudah. Tentunya butuh ketekunan dalam belajar, sehingga bisa dianggap ahli dalam bidangnya.

FIKA FITRIA SYAHRONI, Cihapit

ARUS lalu Jalan Aceh terlihat ramai pada Sabtu (3/2) lalu. Akhir pekan Kota Bandung memang selalu menjadi tujuan wisata dari berbagai daerah. Hal inilah yang dimakfaatkan para event organizer untuk menggelar pameran.

Perjalan saya pekan lalu menuju  pameran Batik Legenda di Graha Siliwangi. Suasana gedung yang bersebelahan dengan Stadion milik TNI  kala itu sangat ramai.

Saya pun mengedarkan pandangan ke beberapa booth di pameran itu. Semuanya nyaris dipenuhi pengunjung yang masyoritas kaum hawa.

Setelah berkeliling, akhirnya mata saya tertuju sebuah booth batik tulis yang tampak mewah, namun tidak hilang sentuhan tradisionalnya. Booth itu bernama Bendoro.

Booth batiknya terlihat menarik, pengrajinnya pun begitu. Dia berperawakan tinggi tegap, berwibawa dan bersahabat. Berpakaian rapi, menarik karena mengenakan batik.

Setelah mengucap salam, saya menyapanya. Saya pun disambut ramah seperti halnya ke konsumen. Namun, saya tidak berniat membeli, hanya ingin menggali tentang batik tulis.

Pria bernama Aris Suharsono Yosodhiningrat itu memahami maksud saya. Maka mengalirkan percapakan dengannya.

Aris mengisahkan awal mula berbisnis batik. Menurut dia, bagi seorang pengrajin batik tulis yang dibutuhkan yaitu kesabaran tinggi dalam proses pengerjaannya. Meskipun belajar otodidak, Aris mampu menekuni bidang perbatikannya. Malah, dunia perbatikannya kini mampu memacu semangatnya dalam berkarya.

Pertama Aris menekuni bidang batik yakni pada tahun 2012. Saat itu, Aris tengah kuliah semester 4 di Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta. Ia mengambil jurusan Pendidikan Teknik Bangunan.

Saat itu, Aris membuka kembali pabrik batik keluarganya yang sudah tutup dari tahun 1998. ”Saya mulai buka pabrik tahun 2012. Saat itu, saya sudah produksi, namun dalam skala yang kecil,” ungkapnya.

Untuk solusi produksi pertama kalinya, Aris memulainya dengan cara mengumpulkan karyanya yang dulu di istirahatkan. ”Saya memulai produksi saat itu dengan cara mengumpulkan lagi karya yang dulu dirumahkan,” ujarnya.

Dalam hal menekuni batik, Aris belajar otodidak. Selain otodidak, Aris pun kadang belajar dari para karyawannya. ”Saya belajar otodidak. Dan terkadang hanya belajar dari para pekerja saya (pengrajin batik yang lain). Saya belajarnya mengamati dan merasakan. Butuh ketelatenan tingkat tinggi dan kesabaran,” ungkapnya.

Berita Terkait

Tinggalkan Balasan