Kesempatan Belajar dari Para Senior

Berkunjung ke sekolah, manggung di kampung, sampai liwetan menjadi medium belasan penulis peserta residensi untuk menangkap problem masyarakat. Kelak bakal disuarakan melalui opini, esai, artikel, atau cerita pendek.

NORA SAMPURNA, Jakarta

POSTURNYA ceking dan wajahnya tirus. Rambutnya agak bergelombang dengan belahan kiri. Tak mengherankan ketika dia selesai membaca selarik puisi Aku, rekan-rekannya langsung memanggilnya Hariz Anwar.

Hariz tentu saja tak keberatan dipanggil demikian. Sebab, Chairil Anwar memang penyair idolanya.

”Saya mengenal Chairil Anwar lewat internet. Saat membaca puisi Aku karyanya, saya langsung ngefans,” ucap Hariz tentang penyair legendaris Indonesia tersebut dalam diskusi internal pada suatu sore di akhir Juli lalu itu (31/7).

Hariz adalah penyair asal Brunei Darussalam. Dia satu di antara 12 peserta ASEAN-Japan Residency Program dalam ASEAN Literary Festival (ALF) 2017. Jawa Pos (Jabar Ekspres Group) diundang mengikuti dari dekat sebagian kegiatan mereka.

Para penulis itu terpilih dari sekitar seribu pelamar. Semuanya tentu saja penulis, tapi datang dari berbagai latar belakang. Ada yang dokter, dosen, musisi, dan ada pula yang masih kuliah.

Selain Hafiz, sebelas peserta lainnya adalah Intan Andaru, Ira Lathief, Ni Komang Ariani, Yusri Fajar (Indonesia), Shaz Johar (Malaysia), Clara Chow (Singapura), Mai Nardone (Thailand), Glenn L. Diaz (Filipina), Tra Nguyen (Vietnam), Moe Thet Han (Myanmar), dan Meiling (Jepang).

Bagi Hariz, residensi kali ini adalah kesempatan berharga untuk lebih mengenal Chairil dan sastra Indonesia yang sedikit banyak memengaruhi karya-karyanya. Selain Chairil, dia menggemari karya-karya penyair Indonesia lainnya, Sapardi Djoko Damono.

Selama ini Hariz mengaku tak hanya mendalami karya-karya Si Binatang Jalang, julukan Chairil. Sekaligus juga kehidupan penyair legendaris yang berpulang di usia sangat muda –tak genap 27 tahun– itu.

”Gaya hidupnya bohemian dan nyentrik,” ujar mahasiswa Jurusan Sosiologi dan Antropologi Universiti Brunei Darussalam itu, lantas tertawa.

Diskusi-diskusi internal tentang kepenulisan dan kehidupan literasi di masing-masing negara hanyalah salah satu bagian dari konsep residensi secara keseluruhan. Secara garis besar, para penulis dari berbagai negara Asia Tenggara dan Jepang tersebut selama satu pekan tinggal bersama di kampung.

Tinggalkan Balasan