jabarekspres.com, JAKARTA -Kenaikan dana tunjangan anggota DPRD dinilai sebagai anomali di tengah upaya pemerintah mengantisipasi defisit anggaran dengan berbagai cara. Bagi daerah sendiri, kebijakan yang diatur dalam PP 18/2017 tersebut dipastikan semakin mencekik fiskal keuangan daerah.
Sekjen Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra)Yenny Sucipto menyatakan, berdasar kajiannya, masih banyak daerah yang kapasitas fiskalnya rendah, bahkan hampir setengahnya. Kondisi itu terjadi di 16 provinsi dan 226 kabupaten/kota.
”Jika ingin menaikkan tunjangan anggota legislatif, daerah perlu memperhatikan ruang fisikal,” tuturnya, baru-baru ini.
Yenny menyarankan agar daerah dengan kondisi ruang fisikal rendah dan memiliki ketergantungan tinggi terhadap DAK dan DAU menolak PP itu. Jika tidak, PP tersebut bisa merepotkan pemerintah daerah dalam mengatur belanjanya. ”Bahkan, APBD terancam bangkrut (defisit, Red),” imbuhnya.
Dia juga tidak yakin kenaikan tunjangan anggota DPRD se-Indonesia bisa menjadi jaminan berkurangnya praktik korupsi. Atau bahkan bisa meningkatkan kinerja anggota DPRD. Faktanya, kasus anggota dewan yang terjerat praktik KKN dan lemahnya kinerja legislasi selalu ada di beberapa daerah. ”Jika tetap melaksanakan aturan itu, tentu akan membuat porsi belanja di daerah tidak produktif dan pembiayaan anggaran menjadi tidak efisien,” kata perempuan asal Kediri tersebut.
Yenny menjelaskan, dengan PP itu anggota DPRD bisa mendapat pemasukan Rp 30-35 juta per bulan. Itu belum termasuk biaya kesehatan, tunjangan keluarga, tunjangan reses, rumah dinas, dan kendaraan dinas. Padahal, pendapatan anggota DPRD yang sebesar Rp 17-19 juta per bulan sebelumnya sudah lebih dari cukup untuk hidup layak.
Perempuan 37 tahun tersebut mengungkapkan, saat ini ada 2.137 anggota DPRD provinsi dan 17.560 anggota DPRD kabupaten/kota. Jika rata-rata pendapatan tiap orang Rp 35 juta per bulan, dibutuhkan Rp 689,3 miliar per bulan untuk gaji DPRD.
Saat dikonfirmasi, Pelaksana Tugas Dirjen Keuangan Daerah Kemendagri Syafruddin menjelaskan, pemerintah pusat sudah mempertimbangkan aspek fiskal daerah sebelum mengeluarkan PP tersebut. Karena itulah, dalam PP sendiri dijelaskan, besaran kenaikan tidak diserentakkan.