Kampung Naga, Kampung Yang Menolak Dipasangi Listrik

Di luar halaman kampung, tampak anak kecil dan pemuda sedang bermain. Mereka mengenakan pakaian seperti kebanyakan orang kampung lainnya. Ibu-ibu hilir mudik mengenakan daster. Ada pula daster yang dililit kain sarung. Tidak ada satu pun warga yang tampak mengenakan jeans.

Ade mempersilakan warganya mengenakan pakaian apa saja. Asal sesuai dengan adat dan norma agama. Bagi pupuhu lembur (tokoh kampung, Red), dia mewajibkan untuk mengenakan pangsi dan iket kepala setiap harinya. ”Iket dan pangsi jadi pakaian wajib pupuhu,” tegasnya.

Selama dia memimpin, tidak pernah ada warga yang berbeda pendapat tentang kebijakannya terhadap budaya luar. Semuanya manut dan taat kepada budaya. Kata dia, budaya yang dianut warga sudah diajarkan secara turun temurun oleh leluhurnya masing-masing.

”Setiap pribadi dari kami memberi contoh, suri tauladan budaya yang baik kepada generasi penerus kampung,” ucapnya.

Sikap dan perilaku budaya diterapkan sehari-hari oleh setiap individu. Pimpinan menjadi tuntunan. Dalam hal ini, setiap orang adalah pimpinan. Setiap pribadi memimpin dirinya sendiri. ”Suami memimpin anak istrinya. Tidak ada di kampung kami yang namanya sosialisasi budaya. Mengalir dengan sendirinya,” ujarnya.

Tidak ada satu orang pun yang mengetahui asal muasal kampung ini. Ade menyebutnya dengan istilah pareumeun obor (obor mati, Red). Istilah Sunda yang berarti hilang jejak. Ceritanya, pada 1956, DI/TII pimpinan Kartosoewiryo membumihanguskan kampung ini.

Pada saat itu, DI/TII menginginkan terciptanya negara Islam di Indonesia. Kampung Naga yang saat itu lebih mendukung pemerintahan Soekarno dan kurang simpatik dengan niat organisasi tersebut. Warga memilih kehilangan nyawa daripada harus tunduk kepada DI/TII. Terjadilah perlawanan sengit.

”Banyak korban meninggal. Kampung dibakar. Seluruh arsip sejarah ikut hangus,” ulasnya.

Sejak itu, warga membangun kembali rumah-rumah. Menatanya kembali. Dan hidup dengan damai hingga saat ini.

Sedangkan nama Naga, Ade menjelaskan, tidak kaitannya dengan seekor hewan naga. Seperti halnya nama desa-desa kebanyakan di Tasikmalaya. Misalnya, Desa Kudadepa di Kecamatan Sukahening, atau Singasari, dan Raksasari di Kecamatan Taraju.

Berita Terkait

Tinggalkan Balasan