Kami Merasa Orang Indonesia Utuh Saat Ini

Keberadaan bandara, disusul bank, kantor pos, dan jaringan komunikasi, mengikis keterisolasian Miangas. Tangan negara masih diharapkan hadir untuk menyelamatkan potensi perikanan di sana.

MIFTAKHUL FAHAMSYAH, Miangas

HUJAN jatuh di Miangas tepat saat perayaan Hari Kemerdekaan Ke-72 Indonesia kemarin (17/8). Tapi, pagi yang basah nan dingin itu sama sekali tak menyurutkan langkah puluhan warga yang masuk wilayah Sulawesi Utara tersebut.

Berduyun-duyun mereka, kecil maupun dewasa, laki-laki maupun perempuan, menuju lapangan tempat upacara dihelat. Antusiasme pelajar, pengawai negeri maupun swasta, aparat keamanan, serta masyarakat umum itu pun tetap tak luntur ketika mendadak hujan berhenti. Berganti terik yang mencapai 38 derajat Celsius.

’’Ini bukti cinta kami kepada Indonesia,’’ tegas Nelly Naema Loeppa, salah seorang tokoh masyarakat Miangas.

Kalau sentimen nasionalisme di pulau yang terletak di tengah Samudra Pasifik, empat jam saja dari Kepulauan Mindanao, Filipina, tersebut begitu menggelora, itu karena mereka kini merasa teperhatikan. Merasa negara sepenuhnya hadir. Melalui bandara, bank, kantor pos, jaringan komunikasi, dan kapal feri. Yang membuat tapal batas Indonesia di bagian utara itu lebih terkoneksi dengan dunia luar. Khususnya wilayah Indonesia lain.

Apalagi, Presiden Joko Widodo sendiri yang meresmikan bandara tersebut pada 10 Oktober 2016. Dan, mulai beroperasi per 12 Maret 2017. Itulah untuk kali pertama sepanjang 72 tahun Indonesia merdeka, seorang presiden menginjakkan kaki di wilayah berpenduduk 763 jiwa tersebut. ’’Kami jadi merasa sebagai orang Indonesia yang utuh saat ini,’’ ungkap Kepala SDN Miangas Elisa Mangole.

Selama bertahun-tahun sebelumnya, Indonesia terasa antara ada dan tidak ada di Miangas. Dengan Melonguane, ibu kota Kepulauan Talaud, kabupaten yang menaunginya, saja terpisah delapan jam perjalanan.

’’Itu kalau lautnya lagi teduh. Kalau ombak lebih tinggi, bisa sepuluh jam,’’ kata Panjaitan Essing, kepala Desa Miangas.

Jadilah semua urusan keseharian lain terasa begitu sulit. Nelly masih ingat betapa ruwetnya untuk sekadar mengirimkan uang kepada anaknya yang bersekolah di luar Miangas. ’’Ibaratnya, air mata anak sudah kering, uang baru sampai,’’ imbuh Nelly.

Alhasil, Filipina yang secara geografis begitu dekat –Kepulauan Mindanao bahkan secara kasatmata terlihat dari Miangas– pun jadi tempat berkiblat. Infiltrasi budaya dan perekonomian otomatis tak terelakkan. Kalangan warga senior di Miangas, misalnya, rata-rata menguasai bahasa Tagalog.

Berita Terkait

Tinggalkan Balasan