Jadi Prajurit kalau Sudah Membunuh Seekor Singa Jantan

Suku Masai di Kenya sangat dikenal karena masih mempertahankan pola hidup tradisional. Untuk mengetes kedewasaan, pria suku tersebut yang sudah menginjak usia 15 tahun harus berkelana ke hutan dulu.

TOMY C. GUTOMO, Narok


PERKAMPUNGAN suku Masai banyak tersebar di sekitar Taman Nasional Masai Mara. Nama Masai Mara juga merupakan penghargaan kepada suku tersebut Jumlah orang Masai -kadang-kadang ditulis Maasai- di Kenya dan Tanzania diperkirakan 900 ribu jiwa. Mereka hidup terpisah-pisah secara berkelompok dan nomaden alias tidak menetap. Layaknya suku Bajo yang tinggal berpindah-pindah di pesisir pantai dan tersebar di sejumlah wilayah.

Orang Masai paling senang mendirikan perkampungan di kawasan pegunungan. Ada yang tinggal di sekitar pantai, tetapi hanya untuk mencari nafkah dengan berjualan cenderamata kepada turis. Setahun sekali mereka pulang ke kampung kelompok mereka untuk mengantarkan uang dan kebutuhan sehari-hari.

Saya mengunjungi salah satu kampung suku Masai di Oloolaimutia. Jaraknya sekitar 800 meter dari Enchoro Wildlife Camp, tempat saya menginap. Menuju kampung itu, saya diantar seorang Masai yang saya temui di kamp dengan berjalan kaki. Siang itu, suhu di Oloolaimutia 20 derajat Celsius. Lumayan dingin untuk orang Indonesia. ”Welcome to Masai Village,” kata Salao Olex, salah seorang Masai, menyambut saya dan beberapa turis.

Dia mengenakan kanga, pakaian khas Masai. Baju terusan motif sarung kotak-kotak tanpa lengan. Lengkap dengan aksesori kalung dan gelang. Plus sandal dari ban bekas.

Sepertinya, mereka telah terbiasa menerima turis. Cara mereka menyambut cukup rapi. Saya diminta memberikan donasi sebelum masuk ke kampung mereka. Saat itu saya memberi Kenyan Shilling (KSH) 5.000 atau sekitar Rp 650 ribu. Lumayan besar. Dengan harapan, saya bisa berlama-lama dan mereka mau lebih terbuka.

Kemudian, Salao memperkenalkan saya kepada Sasine Ole Rinka. Pria 28 tahun itu adalah anak Timanto Ole Rinka, Ole Guanani atau kepala suku di Oloolaimutia. Dia anak tertua dari enam bersaudara. Jadi, Sasine merupakan kandidat pengganti Timanto kelak.

Sasine mengajak saya duduk di atas bangku kayu. Lalu, dia memberi kode kepada sekelompok pria Masai. Dalam hitungan detik, 15 pria tegap menari dengan iringan musik akapela. Ada yang suaranya melengking, ada yang menjadi bas, dan ada yang hanya berdecit. ”Ini tarian selamat datang. Mereka semua prajurit Masai,” kata Sasine.

Berita Terkait

Tinggalkan Balasan