FFD 2017: Barometer Film Dokumenter

jabarekspres.com – SETELAH mengalami kembang kempis di arus utama perfilman Indonesia, kini dokumenter perlahan menemukan layar-layar barunya. Peran festival dalam distribusi karya sinema nggak bisa diangap remeh. Lewat festival, para sineas dipertemukan dengan penikmatnya. Kemudian mendorong karya berlipat ganda di layar lain.

Bertempat di Jogjakarta, Festival Film Dokumenter (FFD) kembali diselenggarakan tahun ini. Festival pertama di Asia itu berlangsung pada 9–15 Desember dengan menghadirkan 78 film dari 17 negara.

FFD musim ini mengusung tema posttruth, kata yang paling dicari pada kamus Oxford pada 2016 silam. ”Sebab, post-truth adalah fenomena yang terjadi pada pola ekonomi, sosial, dan politik di Indonesia. Di mana-mana, yang benar dan nggak benar berada di sekat garis yang sangat tipis. Jadi, kita pun sering kali terkecoh jika nggak memiliki kekayaan intelektual,” ujar Aulia Damai Hati, direktur FFD. Film The Village’s Bid Ufo besutan sineas asal Jepang, Takuro Kotaka, menjadi pembuka perhelatan tersebut. Film itu berhasil membuat penonton terkecoh lewat teatrikal ritus pemanggilan UFO yang dilakukan warga Suzu. Ternyata hal tersebut hanyalah aksi perfomance arts.

The Village’s Bid UFO sukses memicu gelak tawa penonton yang memadati Taman Budaya Jogjakarta pada Sabtu (9/12). ”Konsistensi kami dari awal, audiens nggak menjadi suatu persoalan. Kami lebih baik memiliki sepuluh audiens dengan kemauan menonton dan belajar yang tinggi daripada seratus orang, tapi nggak memberikan pengaruh apa pun,” imbuh Aulia. Nggak heran, festival tersebut berhasil memasuki tahun ke-16-nya. Nggak melulu tentang pemutaran film, FFD juga membangun ekosistem perfilman lewat kelas Lokakarya Kritik Film FFD yang berkolaborasi dengan Cinema Poetica. ”Tujuan diadakan kelas kritik ini adalah melahirkan regenerasi kritikus muda. Kami memilihnya lewat serangkaian kurasi dan tersisa delapan orang ini aja,” tambah Alia.

Bukan hanya Cinema Poetica, nama-nama jurnalis film lawas juga ada. Misalnya, Akbar Yumni dari Jurnal Footage dan Forum Lenteng. Selain itu, seorang peneliti film Indonesia asal Inggris, Thomas Barker, menjadi pemateri tentang sejarah film Indonesia dan memupuk harapan tentang regenerasi kritikus film.

Berita Terkait

Tinggalkan Balasan