Dedikasi Piter untuk Petani Kopi Wamena

Sampai Diangkat Jadi Anak Adat di Distrik Walesi

Piter Tan mendidik anak-anak muda Wamena bergelut dengan kopi agar kualitas kopi di sana bisa terjaga. Terharu dengan loyalitas petani Wamena kepada dirinya.

FERLYNDA PUTRI, Jayapura

NONYO Lanni begitu bangga mengenakan apron. Merasa seolah seperti kesatria dengan baju besinya. Yang begitu gagah karena baru saja memenangi pertarungan.

”Saya sudah bisa bikin kopi,” tuturnya mantap. Meracik kopi. Menjadi barista sehebat mungkin. Itulah pertarungan sehari-hari yang harus dihadapi pemuda dari Distrik Walesi, Wamena, tersebut di Pit’s Corner.

Di coffee shop di Jayapura milik Piter Tan itulah Nonyo tinggal. Tiap pulang sekolah, di tempat itu pula dia akan belajar meracik kopi.

Piter membebaskan seluruh biaya tempat tinggal dan rumah. Bahkan, tiket untuk pulang-pergi ke Wamena ditanggung Q Grader dari Coffee Quality Institute itu.

Syaratnya, Nonyo harus serius belajar. Baik di sekolah formal maupun sekolah kopi. Sebab, lewat anak-anak muda seperti Nonyo-lah Piter berharap kelestarian ”harta karun” Wamena bisa terjaga.

Semua berawal dari pertanyaan yang lama mengganggu Piter: Mengapa harus menggunakan kopi dari luar Papua?

Piter berasal dari keluarga yang memiliki perusahaan kopi di Jayapura. Tapi, sejak awal hingga perusahaan berkembang pesat, sang ayah selalu menggunakan kopi dari Jawa.

Pertanyaan tadi akhirnya membawa Piter untuk kali pertama ke Wamena sepuluh tahun silam. Sebab, dia mendengar ibu kota Kabupaten Jayawijaya tersebut dikenal sebagai sentra kopi.

Tapi, apa yang ditemukan di sana mengagetkannya. Biji kopi seperti tak ada harganya. Ada yang busuk, berjamur, dimakan serangga, dan hanya sedikit yang layak.

Itu semua terjadi karena kebun kopi dibiarkan berantakan oleh petani. ”Maklum, ketika itu, panen kopi satu tahun satu kali dan hasilnya, satu kilo kopi tak cukup untuk membeli satu kilo gula,” tuturnya pertengahan Agustus lalu.

Piter akhirnya mulai mendekati para petani. Dia menjanjikan membeli semua hasil kopi mereka asal mau merawat. ”Para petani awalnya tidak percaya. Sebab, sebelumnya ada yang bilang seperti itu tapi tidak jadi membeli,” ujarnya.

Tinggalkan Balasan