Bawa Pulang Folk ke Akar Rumput

JIKA membahas musik perlawanan di Indonesia, sulit rasanya mengabaikan nama Bagus Dwi Danto. Pria berambut gondrong itu menyatukan kolase karya musik bernasnya secara tunggal di satu tubuh yang diberi nama Sisir Tanah. ”Nama Sisir Tanah diambil dari nama perkakas pertanian yang biasa dipakai untuk mengolah tanah, yakni garu. Sisir Tanah adalah padanan bahasa Indonesia untuk garu,” katanya.

Berproses sejak 2010, pria yang akrab disapa Mas Danto itu membutuhkan waktu tujuh tahun untuk melahirkan debut albumnya yang bertajuk Woh. Dalam bahasa Jawa, arti woh adalah buah. Maksud debut album itu adalah semangat baik yang selama ini dipupuk Danto melalui denting nada gitar kopongnya dan deretan kata dalam lirik-lirik tajam yang sarat kritik sosial serta dikemas dalam olah diksi serupa pandai sastra.

”Setiap catatan adalah perasaan-perasaan yang tersusun dari berbagai watak. Ada optimisme, sarkasme, humor, kegembiraan, kekecewaan, dan kemarahan. Sejumlah lagu bicara soal personal. Beberapa lainnya berisi kritik sosial,” jelas Danto.

Jika kebanyakan musisi folk berbicara tentang hujan dan senja, beda dengan Sisir Tanah. Ia menyeret musik folk untuk kembali ke akar rumput, yaitu merespons konflik di sekitar. Misalnya, kolase kata yang penuh humor satire pada lagu Konservasi Konflik, merapal doa untuk masa depan dalam Lagu Hidup, hingga bernyanyi getir seperti pada Pidato Retak.

Guna menyiarkan lagu-lagu itu ke telinga lebih banyak orang, Sisir Tanah sampai menggelar tur di 17 kota di seluruh Indonesia. Tur tersebut dinamai Harus Berani Tour 2017. Danto pun menjelaskan alasannya mengadakan tur berjarak jauh itu. ”Sisir Tanah merespons sesuatu yang berdampak buruk bagi lingkungan dan bumi yang menjadi tempat tinggal kita bersama,” sebutnya. (rno/c25/fhr)

Berita Terkait

Tinggalkan Balasan