Niat Mengabdi Sempat Terhalang Birokrasi

Fuad Gandhi Rizal, Dokter Gigi dan Peneliti Difabel Indonesia di Jepang

Sebelum akhirnya bisa berpraktik dan menjadi peneliti, Fuad Gandhi Rizal harus melewati sekian penolakan karena kondisi fisiknya. Minta kuota untuk mahasiswa baru difabel di kampus tempat dia dipercaya menyusun kurikulum.

ANDRA NUR OKTAVIANI, Bandung

SEMBARI tertawa lebar, Fuad Gandhi Rizal langsung menampik kemungkinan menerjemahkan buku karyanya ke dalam bahasa Indonesia. ’’Akan jadi kontroversi. Jadi, mending enggak usah deh, hahaha,’’ tuturnya.

Wajar kalau Gandhi berkeyakinan demikian. Sebab, buku bertajuk Clinical Guidebook for Dentist on Wheelchair itu penuh berisi rasa gereget. Kepada orang-orang yang menyepelekan kalangan difabel. Kepada mereka yang meragukan dokter gigi berkursi roda.

Dan, Gandhi yang kini tengah menempuh program doktoral sembari berpraktik dan melakukan penelitian di Jepang tersebut mengalami sendiri semua itu. Diremehkan, dilecehkan, bahkan dipersulit karena kondisi fisiknya.
Sebenarnya Gandhi dulu membenci profesi dokter. Maklum, dia punya pengalaman traumatis. Kondisi dua kakinya yang kini tidak berfungsi konon disebabkan malapraktik saat dirinya mendapat vaksin pada usia 1,5 tahun

’’Orang tua sih cerita, katanya kemungkinan vaksin yang waktu itu diberikan adalah vaksin yang sudah expired. Ada anak lain juga yang jadi korban, bahkan ada yang sampai meninggal,’’ ungkap pemuda kelahiran Magelang, 27 Januari 1987, itu kepada Jawa Pos (Group Bandung Ekspres).

Sejak itu, Gandhi pun mem-blacklist dokter dari profesi yang akan digelutinya nanti. Dia pun mulai memupuk cita-cita untuk menjadi pengacara yang bisa membela hak para pasien korban malapraktik.

Tapi, nasib berkata lain. Gandhi gagal menembus fakultas hukum. Dia malah berakhir dengan diterima sebagai mahasiswa fakultas kedokteran gigi (FKG) di salah satu kampus di Bandung.

Padahal, saat mengikuti seleksi penerimaan mahasiswa baru (SPMB), dia sengaja menempatkan fakultas hukum di urutan pertama dan FKG di urutan kedua. ’’Sengaja saya taruh di pilihan kedua agar tidak mungkin diterima karena passing grade-nya lebih tinggi. Tahunya malah masuk ke sana, ya antara accident dan karma,’’ tutur sulung tiga bersaudara itu saat ditemui di kediamannya, Desa Padamulya, Kecamatan Majalaya, Kabupaten Bandung, Selasa (9/1).

Tinggalkan Balasan