Masaku, Aplikasi yang Mendekatkan Makanan Rumahan

Hidup di perkotaan cenderung membuat orang sering tak makan di rumah. Namun, empat anak muda asal Surabaya ini membuat aplikasi yang memudahkan kita bisa merasakan masakan rumahan meski sedang sibuk bekerja.

Fajrin Marhaendra Bakti, Surabaya

NAMA aplikasi ini memang tidak jauh-jauh dari kegiatan makan-memakan. Ya, namanya Masaku. Akronim dari masakan rumahku. Memang, masakan yang ditawarkan di aplikasi tersebut khusus masakan rumahan. ”Yang masak ya ibu-ibu rumah tangga. Bukan warung atau katering,” ujar Dedy Darsono Gunawan, salah seorang owner.

Ibu-ibu yang hobi masak atau memang setiap hari masak untuk keluarga jadi penyedia menu yang ditawarkan. Tak pelak, tiap hari menunya ganti. Bergantung pada mood ibu-ibu pengisi menu. ”Jadi, menu lebih bervariasi. Setiap hari tidak sama,” lanjut Dedy yang 13 tahun mengenyam pendidikan di Australia dan Taiwan.

Aplikasi tersebut lahir dari kebosanan. Empat pemiliknya, Andree Wijaya, Dedy Darsono Gunawan, Elisabeth Be, dan James Junianlie, bosan makan di warung. Setiap siang, di tengah kesibukan membangun bisnis start-up, mereka selalu makan di luar rumah. ”Lama-kelamaan bosan. Makanannya itu-itu aja,” ungkap Andree.

Empat orang itu juga pembuat lifestyle blog. Berdasar pengalaman itu, tampak bahwa minat terhadap informasi dunia kuliner sangat tinggi. Mereka pun melihat peluang. Hingga tebersitlah ide menciptakan sesuatu yang lebih spesifik di dunia kuliner.

Selain itu, selalu makan di luar memang mengkhawatirkan. Terutama dari sisi kesehatan. Maka, ide tersebut dikonkretkan. Mereka membuat aplikasi berisi ”kumpulan masakan rumahan”. Lebih spesifik lagi, yang dimasak oleh ibu-ibu rumah tangga juga.

Pengisi menu adalah ibu-ibu yang biasa belanja, memasak lebih, lalu ditawarkan kepada orang lain yang tertarik dengan menu tersebut di aplikasi Masaku. ”Kalau seorang ibu masak untuk keluarganya, pasti cari bahan yang terbaik toh,” beber Dedy.

Dengan begitu, mereka bisa memberdayakan ibu rumah tangga. Ibu yang biasa masak dan tidak bekerja. Berbeda halnya dengan aplikasi marketplace makanan yang lain. ”Jadi, ibu-ibu itu bisa berkarya lewat kegiatan sehari-hari mereka,” kata Andree.

Tinggalkan Balasan