Lepas Remaja Sudah Menulis Cerpen Kuli dan Pelacur

Tampil di media nasional sejak 1969 sebagai penulis puisi dan cerita pendek, Mochtar Pabottingi kemudian lebih banyak dikenal sebagai ilmuwan politik. Namun, di balik ketajamannya dalam mengkritisi situasi politik di Indonesia, Mochtar tetaplah seorang sastrawan.

 TRI MUJOKO BAYUAJI, Jakarta

MOCHTAR Pabotinggi tampak segar pagi itu (15/9). Meski mengaku baru sembuh dari sakit, tak terlihat wajah lesu pada pria 71 tahun itu. Bapak empat anak tersebut menyambut Jawa Pos dengan teh hangat dan kolak pisang kepok campur ubi jalar bergula merah masakan istri tercinta, Nahdia Julihar. ”Ayo dinikmati selagi hangat,” kata Mochtar ramah.

Meski sudah pensiun sebagai peneliti utama bidang politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Mochtar tetap rutin menulis setiap hari. Peraih predikat profesor riset LIPI itu masih aktif menulis artikel atau mengisi acara di berbagai media. Nah, di sela-sela kesibukannya tersebut, Mochtar menyempatkan menulis karya sastra. Terhitung sudah tiga buku lahir dari tangannya: kumpulan puisi Dalam Rimba Bayang-Bayang (2003) dan Konsierto di Kyoto (2015) serta sebuah novel otobiografi Burung Burung Cakrawala (2013).

”Saya sudah tertarik dengan sastra sejak kecil. Kelas V sekolah rakyat (SR) saya sudah membaca roman-roman Poedjangga Baroe,” ujar lulusan S-3 Ilmu Politik University of Hawaii, Amerika Serikat, itu.

Mochtar mengungkapkan, masa kecilnya di Makassar, Sulawesi Selatan, banyak dihabiskan dengan membaca buku. Dia paling suka dengan buku pelajaran Bahasaku. Ketika remaja, dia sudah akrab dengan karya-karya sastra Indonesia maupun dunia. Novel Siti Nurbaja (Marah Rusli), Layar Terkembang (Sutan Takdir Alisjahbana), Di Bawah Lindungan Ka’bah (Hamka), dan Tenggelamnya Kapal Van der Wijck (Hamka) dibacanya hampir bersamaan dengan Sebatang Kara karya Hector Malot.

Di antara beberapa karya sastra Indonesia zaman itu, Mochtar remaja sangat menyukai novel Tenggelamnya Kapal Van der Wijck karya Hamka yang telah difilmkan pada 2013. ”Saya baca tiga kali, tetap saja menangis,” ujarnya.

Bukan hanya karya sastra Hamka yang dibacanya kala itu. Mochtar juga melahap buku-buku Hamka lainnya seperti Tasauf Modern dan Lembaga Pribadi ”yang sarat dengan pendidikan karakter”.

Tinggalkan Balasan