Ibadah dan Muhasabah

’’Kalaulah bukan karena panggilan keimanan, tentu tidak akan ada kegembiraan pada hamba Allah ketika bulan Ramadan datang menjelang. Betapa dalamnya makna seruan Allah tentang perintah ibadah puasa: “Hai orang-orang yang beriman telah diwajibkan atasmu puasa, sebagaimana diwajibkan puasa itu kepada orang-orang sebelum kamu. Mudah-mudahan kamu menjadi orang-orang yang taqwa” (QS. Al-Baqarah : 183)

Jelaslah hanya bagi hamba yang sungguh-sungguh beriman perintah puasa itu ditujukan. Karena hanya keimanan yang sesungguhnyalah yang menjadi penggerak sehingga perintah puasa itu dipenuhi. Bukanlah faktor kesehatan dan kebugaran fisik yang menjadikan seorang hamba tergerak hatinya untuk memenuhi perintah puasa. ’’Kita sering menyaksikan orang-orang yang secara fisik sehat dan bugar tapi tidak menjalankan perintah puasa. Bahkan dia juga  tidak dalam kondisi sedang menempuh perjalanan jauh (safar),” katanya.

Demikian juga bukan karena faktor dia seorang yang kaya atau seorang yang berkuasa yang menjadikannya tergerak memenuhi perintah tadi. Tanpa keimanan, seorang yang kaya dan punya kekuasaan sekalipun dia tidak akan tergerak untuk memenuhi perintah puasa. Lagi-lagi hanya keimananlah pendorongnya. Maka dari itu, Allah dalam seruan tentang perintah ibadah puasa Ramadan,  mengawalinya dengan penyebutan “orang-orang beriman” .

Selanjutnya, ketika Allah dalam Al-Qur’an menyebutkan ”Dan tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah kepada-Ku” (QS. Adz-Dzariyat: 56), maka bagi hamba Allah berpuasa itu sebagai salah satu bentuk dari perwujudan ibadah kepada Allah atau sebagai salah satu  implementasi dari ketaatan kepada-Nya. Tidak akan ada beban yang membuat dirinya merasa berat menjalankannya, bahkan akan dipandang ringan dilakoninya karena orientasinya hanya kepada Allah semata.

Lain halnya jika pengakuan keimanan itu hanya artifisial saja, maka jelaslah akan terasa bahwa kewajiban puasa itu beban yang menyusahkan. Makanya ibadah puasa itu sebagai ibadah yang sulit dilakukan oleh orang-orang yang pura-pura beriman, seperti halnya kaum munafiqin di jaman Baginda Rasulullah SAW. Mereka, kaum munafiq mungkin bisa berpura-pura ikut berjamaah shalat, berpura-pura membayar zakat bersama-sama dengan orang beriman,  tapi mereka akan kesulitan jika seharian harus  menjalankan ibadah puasa bersama-sama dengan orang-orang beriman.

Tinggalkan Balasan