Hafidh Giat Mengajari Kaum Tuli Berbahasa Indonesia

Sayang, hal itulah yang malah menjadikan Hafidh sasaran bully teman-temannya yang jahil. Karena terus-menerus mendapat perlakuan kurang menyenangkan, Hafidh menyadari pentingnya bergaul dan berkomunikasi dengan orang lain. ”Aku berpikir, berarti aku harus jadi kayak mereka dulu biar dihargai,” ujar siswa SMA Negeri 1 Sewon, Bantul, Jogjakarta, itu.

Hafidh pun terlecut untuk melakukan aksi positif. Bersama empat teman yang juga menyandang Tuli, mereka mendirikan Kebintuli (Kelas Bahasa Indonesia Anak-Anak Tuli). Sekaligus menjadi tenaga pengajar di Sekolah Semangat Tuli yang terbuka untuk umum.

Hafidh aktif mengajak teman-teman Tuli di wilayah Jogja untuk belajar berbahasa Indonesia dengan baik. Bahkan, dia rela mengajar tanpa imbalan apa pun demi menjauhkan teman-temannya dari perlakuan buruk yang pernah diterimanya. Dalam sepekan, dia punya jadwal dua kali mengajar. ”Mayoritas yang aku ajar itu anak-anak seusiaku karena paling mudah bertemunya,” ungkap pelajar yang juga aktif di komunitas Deaf Art Community itu.

Karena kemampuan bahasa Indonesia-nya sudah jauh lebih baik, Hafidh juga sering memperbaiki susunan kalimat yang digunakan teman-temannya saat chatting. ”Karena sekarang apa-apa disampaikan lewat tulisan, aku pengin teman-teman Tuli bisa menyampaikan maksud lewat tulisan dengan baik. Sebab, kalau tulisannya berantakan, kan nggak bisa dipahami,” ujarnya, lantas tersenyum.

Sampai pada suatu ketika Hafidh membaca halaman Zetizen di Jawa Pos Radar Jogja (Jawa Pos Group). Dalam halaman tersebut terdapat pengumuman mengenai kompetisi Zetizen National Challenge Go to New Zealand. Dia mencari lagi informasi lebih detail di situs zetizen.com. Hafidh pun submit aksinya.

Tak disangka, Hafidh terpilih menjadi lima finalis Alpha Zetizen se-Jogjakarta. Bersama keempat finalis lain, Hafidh berangkat ke Surabaya mengikuti Zetizen Summit 2016 untuk sesi penjurian.

Masalah muncul. Sesi interview dilakukan secara lisan. Namun, Hafidh tak putus semangat. Saat proses penjurian berlangsung, dia dibantu seorang translator. ”Saat menunggu sesi itu, aku deg-degan. Tapi, setelah masuk ruangan interview, aku merasa sedikit lebih baik dan lebih tenang,” ujarnya melalui media chatting.

Seusai proses tersebut, juri cukup bingung. Sebab, pesaing Hafidh dari Jogja sama-sama baik dan aksinya luar biasa positif. Pada akhirnya, dewan juri yang terdiri atas perwakilan New Zealand Embassy, Jawa Pos Group, dan Zetizen sepakat memilih Hafidh sebagai pemenang dan berhak mengikuti fun adventure trip ke New Zealand.

Berita Terkait

Tinggalkan Balasan